
Setiap kali peringatan Hari Buruh Internasional pada tanggal 1 Mei. Kita disuguhi panggung perjuangan yang didominasi oleh buruh pabrik, tenaga kerja sektor informal, dan pekerja digital. Mereka yang menuntut hak-haknya di jalanan sering kali menjadi wajah tunggal dari problematika ketenagakerjaan nasional. Namun, di balik hiruk-pikuk tersebut, terdapat sekelompok pekerja yang nyaris tak pernah terdengar suaranya yaitu para buruh bandara. Mereka adalah tenaga yang menopang infrastruktur vital negara ini. Bekerja dalam diam di bawah tekanan waktu, cuaca ekstrem, dan protokol keamanan yang ketat. Namun tetap saja tercecer dari prioritas kebijakan ketenagakerjaan.
Pekerja bandara yaitu teknisi, petugas ground handling, porter bagasi, hingga personel keamanan dan petugas Apron Movement Control adalah denyut nadi dari sistem penerbangan nasional. Ironisnya, meskipun bekerja dalam zona yang penuh risiko dan tanggung jawab, banyak dari mereka masih diganjar dengan upah minimum regional (UMR). Tidak ada diferensiasi yang signifikan antara pekerja di area risiko tinggi dengan pekerja lain di sektor-sektor yang lebih ringan beban kerjanya. Ini menunjukkan betapa hukum ketenagakerjaan kita masih gagal menjawab prinsip dasar keadilan distributif, dimana upah yang layak harus memperhitungkan bukan hanya jam kerja, tetapi juga beban dan bahaya kerja.
Ketimpangan ini diperparah oleh sistem outsourcing yang kerap menjadi pintu masuk eksploitasi terselubung. Banyak petugas bandara yang tidak diangkat sebagai pekerja tetap oleh otoritas bandara atau maskapai penerbangan. Melainkan menjadi bagian dari jaringan outsourcing yang lepas dari akuntabilitas jangka panjang. Artinya, selain menerima upah minimum, mereka juga tidak memiliki jaminan perlindungan sosial yang layak, apalagi peluang pengembangan karier. Dalam istilah yang lebih lugas mereka hanya dijadikan sebagai komoditas, bukan manusia pekerja yang punya hak untuk hidup dengan bermartabat.
Di tengah gempuran modernisasi bandara, dengan meningkatnya lalu lintas udara nasional, pekerja ini justru terjebak dalam stagnasi upah dan invisibilitas sosial. Maka, peringatan Hari Buruh seharusnya menjadi momentum untuk memperluas cakrawala keadilan ketenagakerjaan. Sudah saatnya negara dan publik memandang lebih jauh dari ruang tunggu eksekutif dan meraba denyut perjuangan di apron dan ruang kargo. Keadilan sosial bukan hanya soal berapa besar pertumbuhan ekonomi, tapi sejauh mana kita mampu melihat dan memperjuangkan nasib mereka yang selama ini tersembunyi di balik gemerlap lampu landasan pacu.
Beban Ganda
Masalah utama yang dihadapi para pekerja bandara bukan hanya sekadar soal rendahnya nominal rupiah di slip gaji mereka. Lebih dalam dari itu, mereka menghadapi ketimpangan struktural yang sudah mengakar dalam sistem ketenagakerjaan nasional. Banyak di antara mereka hanyalah tenaga alih daya (outsourcing) yang statusnya tak lebih dari angka dalam kontrak kerja jangka pendek. Sistem kerja bergilir, beban kerja berat, dan tanggung jawab besar seolah menjadi hal lumrah yang harus diterima tanpa protes. Namun ironisnya, perlindungan sosial seperti jaminan kesehatan, tunjangan hari tua, atau jaminan kecelakaan kerja justru menjadi barang mewah yang jauh dari jangkauan mereka.
Beban kerja yang berat tidak sebanding dengan hak yang mereka terima. Tidak ada jenjang karir yang jelas, tidak ada kepastian masa depan, dan sering kali suara mereka tak pernah didengar. Di banyak kasus, buruh bandara harus menandatangani kontrak kerja baru setiap enam bulan atau setahun, yang artinya hidup mereka terus berada dalam bayang-bayang pemutusan hubungan kerja sewaktu-waktu. Ini bukan sekadar relasi kerja yang timpang, ini adalah bentuk perbudakan modern yang dibungkus dalam jargon efisiensi dan fleksibilitas tenaga kerja.
Kondisi itu semakin diperparah oleh lokasi kerja mereka yang umumnya berada di kawasan dengan biaya hidup tinggi. Bandara-bandara besar seperti Soekarno-Hatta, Ngurah Rai, dan Juanda tidak hanya menjadi pusat lalu lintas udara, tetapi juga berada di tengah kepungan kawasan metropolitan dan zona wisata premium. Harga sewa tempat tinggal, makanan, transportasi, dan kebutuhan pokok lainnya sangat tidak ramah terhadap pekerja berupah minimum. Banyak dari mereka terpaksa tinggal di hunian sempit di pinggiran kota, menempuh perjalanan berjam-jam hanya untuk bekerja dalam sistem yang tidak memihak.
Beban ganda inilah yang jarang terlihat dalam narasi besar pembangunan infrastruktur dan pariwisata. Kita sering memuja bandara sebagai simbol kemajuan, modernitas, dan keterbukaan dunia. Tapi dibalik lantainya yang mengkilap dan ruang tunggunya yang mewah, tersembunyi wajah-wajah lelah yang memikul beban sistem kerja yang eksploitatif. Jika pembangunan hanya meninggikan terminal dan memperluas landasan tanpa memperbaiki kehidupan orang-orang yang menghidupinya, maka kita bukan sedang membangun peradaban, melainkan memperhalus wajah ketimpangan dan membiarkan perbudakan..
Mengapa Tidak Ada Risk Premium?
Dalam studi ekonomi ketenagakerjaan, dikenal konsep risk premium sebagai tambahan kompensasi bagi pekerja yang menghadapi risiko tinggi dalam menjalankan tugasnya. Logikanya sederhana, semakin tinggi risiko, semakin tinggi pula nilai kompensasi yang seharusnya diterima. Di banyak negara dan sektor, seperti tambang, konstruksi, hingga pemadam kebakaran, prinsip ini sudah menjadi bagian dari kebijakan pengupahan yang adil. Namun entah mengapa, dalam sektor aviasi nasional yang tak kalah berisiko, konsep ini seperti hilang dari radar regulasi. Tidak ada pengakuan normatif, apalagi insentif yang menjawab ketimpangan risiko kerja yang nyata di lapangan.
Bayangkan petugas yang bekerja di area apron yang setiap hari berhadapan dengan mesin pesawat aktif, kendaraan logistik berat, cuaca ekstrem, dan jadwal kerja tak menentu. Atau teknisi bandara yang harus memastikan kelayakan sistem navigasi dalam kondisi tekanan tinggi, dengan margin kesalahan nyaris nol. Di atas kertas, semua ini adalah pekerjaan penuh risiko. Tetapi dalam struktur pengupahan, mereka masih dikategorikan dalam kelas upah minimum, setara dengan pekerjaan dengan risiko jauh lebih rendah. Ini bukan hanya ketidakadilan ekonomi, melainkan juga pengabaian sistemik terhadap hak hidup layak bagi para pekerja rentan.
Ketidakhadiran risk premium dalam kebijakan pengupahan bandara menunjukkan bahwa paradigma kerja berbasis risiko belum menjadi kesadaran kolektif di Indonesia. Pemerintah masih sibuk menetapkan upah minimum dengan pendekatan makro yang menggeneralisasi semua sektor, tanpa memperhitungkan variabel risiko kerja. Operator bandara, di sisi lain, cenderung berorientasi pada efisiensi biaya dan target pelayanan, bukan pada nilai kemanusiaan pekerja. Bahkan masyarakat pengguna jasa pun lebih banyak mengapresiasi layanan cepat oleh operator bandara daripada tenaga kerja yang mengorbankan keselamatannya demi kelancaran perjalanan udara mereka.
Padahal, pengakuan atas risiko kerja bukan hanya soal nominal tambahan upah. Ia adalah bentuk penghormatan terhadap keberanian dan profesionalitas para pekerja yang menopang sistem aviasi dari balik layar. Dengan menolak memberikan risk premium, negara dan korporasi sesungguhnya sedang berkata bahwa nyawa dan keselamatan buruh bandara tidak lebih mahal dari biaya operasional yang ditekan. Ini adalah bentuk devaluasi kemanusiaan yang tidak bisa terus dibiarkan hidup di tengah geliat modernitas dan pertumbuhan ekonomi yang katanya inklusif.
Negara Harus Hadir
Sudah terlalu lama pekerja bandara berjalan dalam senyap, memikul risiko tinggi dengan upah rendah di tengah sistem yang tidak berpihak. Kini, waktunya pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan di sektor transportasi udara melakukan koreksi struktural. Isu ini bukan semata-mata soal hubungan industrial, melainkan cerminan dari sejauh mana negara hadir melindungi warga kerja yang berada di garis belakang pembangunan. Keberpihakan terhadap pekerja tidak cukup disuarakan hanya dalam pidato seremonial 1 Mei, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan konkret dan sistemik.
- Menerapkan upah sektoral berbasis risiko (hazard-based sectoral wage) yang memperhitungkan tingkat bahaya dan tanggung jawab kerja, khususnya bagi jenis pekerjaan strategis seperti teknisi, ground handling, dan petugas keamanan apron. Sistem pengupahan yang seragam dan berbasis regional tidak mampu menangkap kompleksitas dan risiko khas dari ekosistem kerja bandara. Dengan skema ini, keadilan distributif bisa mulai ditegakkan bukan hanya antara sektor, tetapi juga antar jenis pekerjaan dalam satu lingkungan industri.
- Regulasi outsourcing harus diperketat. Selama ini outsourcing menjadi celah legal untuk melucuti hak-hak dasar pekerja, termasuk kepastian kerja, jaminan sosial, dan ruang mobilitas vertikal. Pemerintah harus membuat batasan tegas, mana jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan, dan mana yang harus berada di bawah kontrak langsung. Evaluasi berkala terhadap perusahaan penyedia tenaga kerja juga menjadi keharusan, agar tidak menjamur praktik eksploitatif yang berkedok efisiensi.
- Laksanakan Audit independen terhadap implementasi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di seluruh kawasan bandara. Audit ini harus dilakukan secara berkala, terbuka, dan berbasis data, termasuk publikasi statistik kecelakaan kerja dan penilaian beban kerja. Tidak ada lagi ruang untuk “data gelap” yang menutup-nutupi insiden di lapangan demi citra perusahaan. Keselamatan pekerja adalah prioritas, bukan variabel promosi.
- Penguatan sistem pelaporan dan advokasi internal di lingkungan kerja bandara. Banyak pekerja yang tidak berani bersuara karena terjebak dalam struktur hirarki yang kaku dan represif. Diperlukan mekanisme pelaporan yang aman, independen, dan mampu menampung keluhan tanpa intimidasi. Serikat pekerja juga harus diberi ruang yang lebih luas untuk berperan, bukan justru dibatasi oleh regulasi yang mengebiri daya tawarnya.
Jika keempat langkah ini tidak segera diambil, maka negara sebenarnya sedang membiarkan eksploitasi berlangsung atas nama efisiensi dan pelayanan publik. Padahal, pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan sektor aviasi tidak boleh dibayar dengan kelelahan, ketidakpastian, dan ketakutan para buruh bandara. Karena dalam setiap kali lepas landas pesawat terbang yang kita saksikan, ada keringat dan risiko yang sering kali tak terlihat tetapi sangat nyata.
Keadilan dalam Penghargaan Kerja
Sudah saatnya kita melepaskan cara pandang sempit terhadap kerja. Pekerjaan tidak bisa lagi dilihat hanya dari atribut formal seperti seragam rapi atau lokasi kerja yang tampak modern. Di balik sorot lampu ruang tunggu bandara dan suara pengumuman keberangkatan yang kita dengar, ada kerja-kerja tak terlihat yang menopang seluruh sistem penerbangan nasional. Mereka yang memastikan roda pesawat aman sebelum lepas landas, yang memindahkan bagasi satu per satu di bawah panas dan hujan, atau yang berjaga sepanjang malam untuk mendeteksi potensi ancaman keamanan, mereka semua adalah penjaga senyap dari keselamatan publik.
Jika kita sepakat bahwa keselamatan dan kenyamanan penumpang adalah prioritas, maka mestinya kita juga sepakat bahwa penghargaan terhadap buruh bandara harus berdiri di barisan prioritas yang sama. Keadilan tidak cukup diwujudkan lewat angka gaji semata, tapi juga lewat pengakuan yang adil terhadap beban kerja dan risiko yang mereka tanggung. Ada nilai-nilai keberanian, ketelitian, dan dedikasi tinggi yang setiap hari ditanamkan di lingkungan kerja mereka, namun sayangnya belum diimbangi dengan sistem penghargaan yang setimpal. Kita tidak bisa bicara tentang layanan transportasi kelas dunia jika pekerjanya tetap diperlakukan sebagai tenaga murah.
Hari Buruh seharusnya tidak hanya menjadi momen untuk mendengarkan suara yang lantang dari podium dan mimbar protes, tetapi juga untuk membuka mata terhadap suara lirih yang muncul dari lorong-lorong sunyi apron dan ruang kargo. Buruh bandara mungkin tidak turun ke jalan, tapi bukan berarti mereka tidak sedang berjuang. Mereka berjuang setiap hari melawan rasa lelah, ketidakpastian, dan sistem kerja yang tidak memberi ruang untuk berkembang. Mereka tidak menuntut lebih, hanya meminta keadilan yang sederhana: upah yang layak, perlindungan yang memadai, dan penghargaan atas risiko yang mereka jalani demi kenyamanan semua orang.
Oleh karena itu, mari kita perluas makna solidaritas buruh. Kita perlu mendobrak batas sektoral dalam memperjuangkan hak-hak pekerja. Tidak boleh ada pekerja yang dilupakan hanya karena tidak terlihat. Dalam bandara yang menjadi etalase negara dan gerbang antarbangsa, seharusnya kita tidak membiarkan ketimpangan kerja dan pengabaian hak menjadi bagian dari lanskapnya. Keadilan dalam penghargaan kerja adalah fondasi dari peradaban yang sehat bagi buruh bandara, dengan segala senyapnya, adalah bagian yang tak terpisahkan dari cita-cita itu.
Dari Apron Menuju Kesadaran Publik
Di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur transportasi, kita seringkali lupa bahwa bandara tidak hanya dibangun oleh baja dan beton, tapi juga oleh tangan-tangan manusia yang bekerja dalam diam. Mereka adalah buruh bandara, para pekerja pasasi, pekerja teknis, petugas keamanan, petugas kargo, teknisi, dan operator peralatan berat yang menjadi tulang punggung keandalan sistem penerbangan Indonesia. Ironisnya, semakin kita bergantung pada kehadiran mereka, semakin kabur pula penghargaan kita terhadap kontribusinya.
Momentum Hari Buruh Internasional harus menjadi refleksi kolektif, adakah yang kita lupakan dalam perjuangan kelas pekerja hari ini? Jawabannya ada di balik pintu akses terbatas terminal bandara, di balik suara bising mesin dan suara roda troli bagasi. Mereka tidak hanya menunggu perhatian, tapi mereka menunggu pengakuan dan menunggu keadilan. Mereka bukan “figuran” dalam sistem transportasi modern, mereka adalah para penggeraknya.
Oleh sebab itu, perjuangan buruh tidak boleh disederhanakan menjadi sekadar tuntutan upah, tetapi harus dibaca sebagai upaya menegakkan martabat kerja. Negara tidak bisa terus membiarkan sistem kerja eksploitatif berkedok fleksibilitas, apalagi di sektor yang menyangkut keselamatan publik. Perubahan harus dimulai dari keberanian politik untuk mengakui bahwa ada yang salah dalam cara kita memperlakukan pekerja di balik layar. Dan kesadaran itu harus dibangun dari sekarang, dari tulisan, dari kebijakan, dari solidaritas yang konkret.
“Buruh adalah pahlawan pembangun peradaban”
Ditulis oleh: Raymon LM (Ketua Badan Pengawas FSPBI)