Reformasi Buruh yang Tertunda: Dari Orde Baru ke Era Omnibus

Foto Reformasi tahun 1998
Gambar: Rmol.id

Buruh dan Reformasi 98

Dua puluh tujuh tahun sejak reformasi 1998, buruh Indonesia masih terus berjuang keluar dari bayang-bayang sistem ekonomi-politik yang menghisap mereka sebagai angka dalam neraca investasi, bukan sebagai manusia utuh dengan hak dan martabat. Ironisnya, saat kita menyebut “reformasi,” banyak buruh justru mengalami deregulasi hak melalui logika pasar bebas dan fleksibilisasi kerja yang terus menguat sejak era Orde Baru.

Reformasi memang berhasil membongkar rezim otoriter, tetapi gagal membongkar struktur relasi kerja eksploitatif yang ditanamkan selama tiga dekade kekuasaan Soeharto. Pasar kerja pasca-reformasi justru menjadi semakin “ramah investor” dengan menjadikan buruh sebagai komoditas fleksibel, siap pakai, dan siap buang. Alih-alih memperjuangkan keadilan sosial sebagai amanat konstitusi, negara melanjutkan logika pembangunan Orde Baru dengan wajah demokratis: deregulasi hukum ketenagakerjaan demi angka pertumbuhan ekonomi yang tak pernah menyentuh kantong buruh.

Fenomena ini terlihat nyata dalam praktik outsourcing, kerja kontrak jangka pendek, dan sistem kerja digital tanpa perlindungan, yang semuanya dilegitimasi oleh regulasi negara. Buruh kehilangan daya tawar karena relasi kerja tidak lagi bersifat stabil. Banyak pabrik dan perusahaan, pekerja dibebani target tinggi tanpa jaminan keberlanjutan kerja. Mereka hidup dalam ketidakpastian, tidak punya ruang bernegosiasi, dan kehilangan hak untuk menyusun masa depan. Maka, yang disebut “fleksibilitas” bagi pengusaha, sejatinya adalah bentuk baru dari perbudakan kerja dalam kerangka Neoliberal.

Yang lebih menyakitkan negara tidak hadir sebagai pelindung, melainkan menjadi penyelenggara “pasar kerja murah.” Kebijakan seperti Undang-Undang Cipta Kerja hanyalah puncak gunung es dari ideologi pembangunan yang mengorbankan buruh atas nama kompetisi global. Legislasi dibuat dengan mengesampingkan prinsip-prinsip dasar keadilan industrial. Proses hukum yang seharusnya menjamin partisipasi buruh berubah menjadi forum transaksional elite. Tidak heran jika protes dan mogok kerja yang berlangsung pasca-2020 lebih bersifat survival ketimbang strategis yang tumbuh dari rasa putus asa, bukan kesadaran kolektif.

Reformasi dalam konteks ini menjadi ironi historis. Ia membebaskan ruang politik, tetapi meninggalkan luka ekonomi yang belum sembuh. Buruh hari ini hidup dalam era yang lebih bebas, tetapi tidak lebih sejahtera. Mereka bisa bersuara, tetapi tidak didengar. Mereka bisa mogok, tetapi mudah diganti. Demokrasi prosedural telah hadir, tapi demokrasi ekonomi masih jauh dari harapan. Inilah paradoks reformasi: menghapus otoritarianisme negara, tetapi gagal menumbuhkan keberpihakan terhadap kelas buruh yang selama ini menopang pembangunan.

Di bawah rezim Soeharto buruh diperlakukan sebagai obyek pembangunan, bukan subyek politik. Relasi industrial bersifat koersif dimana serikat pekerja dimonopoli melalui SPSI, militer aktif dalam penyelesaian sengketa perburuhan, dan setiap mogok dianggap tindakan yang mengganggu ketertiban. Sebuah pasal dalam Undang-Undang, bahkan memungkinkan pemidanaan buruh hanya karena menyuarakan upah layak.

Situasi ini menunjukkan bahwa buruh tidak sekadar dikendalikan secara ekonomi, tetapi juga secara ideologis. Mereka dikondisikan agar patuh, diam, dan bekerja demi pembangunan nasional versi elite negara. Pendidikan buruh dibatasi pada keterampilan produksi, bukan pada kesadaran politik atau hak-hak dasar. Negara menciptakan buruh ideal seperti disiplin, murah, dan tidak banyak menuntut. Bahkan wacana tentang hak berserikat dan perundingan bersama dianggap sebagai bentuk “pengaruh asing” yang membahayakan stabilitas nasional. Buruh yang kritis segera dicap sebagai provokator, komunis, atau anasir pengganggu pembangunan.

Represi ini bukan sekadar kebijakan, melainkan bagian dari desain negara otoriter yang menggunakan militer untuk mengawasi sektor produksi. Dalam banyak kasus, tentara ditempatkan di pabrik-pabrik untuk memantau kegiatan serikat dan membungkam protes. Kekerasan menjadi alat normalisasi dalam relasi industrial. Ini menandakan bahwa dalam nalar pembangunan Orde Baru, stabilitas dianggap lebih penting daripada keadilan. Dan stabilitas itu ditegakkan bukan melalui dialog, melainkan melalui senjata dan ketakutan.

Yang lebih tragis represi tersebut disamarkan dalam narasi kesejahteraan. Pemerintah membanggakan pertumbuhan ekonomi, ekspor industri, dan masuknya investor asing, tetapi menutup mata terhadap jam kerja panjang, upah yang tidak manusiawi, dan buruh perempuan yang kehilangan hak reproduksi. Negara mengklaim berhasil menciptakan lapangan kerja, tetapi tidak peduli apakah pekerjaan itu layak. Buruh dianggap sukses hanya karena mereka bekerja, tanpa memperhitungkan apakah mereka hidup secara bermartabat.

Dari sini kita bisa melihat bagaimana warisan otoritarianisme Orde Baru tidak sekadar terletak pada pelanggaran HAM atau korupsi politik, tetapi juga pada cara berpikir negara terhadap buruh: sebagai alat produksi, bukan warga negara. Dan warisan inilah yang meski rezimnya telah jatuh tapi masih hidup hingga hari ini dalam bentuk sistem kerja yang tidak adil, representasi politik yang timpang, dan regulasi yang lebih melindungi modal daripada tenaga kerja.

Namun apakah kondisi pasca-1998 telah banyak berubah?

Demokrasi Tanpa Keadilan Sosial

Reformasi membuka kebebasan berserikat dan lahirnya Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Buruh kini bisa membentuk federasi independen dan menuntut hak melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Tapi suasana demokrasi itu tak serta-merta menguatkan posisi buruh dalam praktik. Negara belum betul-betul berpihak.

Kebebasan berserikat yang dijamin secara hukum ternyata berjalan timpang dalam realitas. Banyak perusahaan menolak kehadiran serikat independen dan lebih memilih membina “serikat binaan” yang tunduk pada kepentingan manajemen. Bahkan, dalam sejumlah kasus, buruh yang membentuk serikat justru menjadi korban pemutusan hubungan kerja sepihak. Aparat negara tidak jarang diam, atau justru ikut membenarkan tindakan perusahaan dengan dalih “mengamankan iklim usaha.” Dengan demikian, hukum tampak hidup, tetapi keadilan tetap mati di pabrik-pabrik dan kawasan industri.

Selain itu Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang semestinya menjadi ruang penyelesaian yang adil justru sering beroperasi sebagai forum legal-formalistik yang menjauh dari semangat perlindungan buruh. Banyak hakim PHI cenderung bersikap teknokratis, memprioritaskan aspek prosedural daripada substansi keadilan sosial. Di sisi lain, buruh umumnya datang ke pengadilan tanpa kuasa hukum yang kompeten, sementara pengusaha didampingi penasihat hukum korporat dan konsultan hubungan industrial yang mahir membaca celah hukum. Ketimpangan ini membuat “akses keadilan” menjadi sekadar slogan dalam brosur kebijakan.

Ironisnya negara justru semakin aktif memperlemah hak-hak buruh dengan dalih efisiensi regulasi dan daya saing investasi. UU Ketenagakerjaan 2003 yang sebelumnya dianggap sebagai hasil kompromi antara negara, pengusaha, dan buruh, kini direduksi melalui skema omnibus law. Spirit kolektif yang melahirkan undang-undang tersebut terkikis oleh logika deregulasi yang lebih mementingkan kemudahan berusaha daripada martabat kerja. Dalam situasi ini, buruh kembali diletakkan pada posisi subordinat yang dibebani tanggung jawab ekonomi nasional, tetapi dilepaskan dari hak-hak fundamental mereka sebagai manusia kerja.

Maka, apa arti kebebasan berserikat jika serikat tidak diberi ruang untuk hidup? Apa gunanya PHI jika tidak mampu menjadi tempat berpijak yang adil bagi buruh? Demokrasi industrial yang dijanjikan pasca-reformasi seolah berhenti di atas kertas. Di lapangan, relasi kuasa tetap timpang dan negara sekali lagi, lebih sering menjadi wasit yang berpihak kepada pemilik modal. Reformasi ketenagakerjaan yang dibayangkan buruh di tahun 1998 ternyata jauh dari selesai akan tetapi justru dikooptasi dan dijinakkan oleh kekuatan yang sama: kekuasaan dan kapital.

Dominasi tenaga kerja kontrak dan outsourcing pasca-reformasi bukanlah kecelakaan kebijakan, melainkan bagian dari strategi sistematis yang menjadikan fleksibilitas kerja sebagai norma baru dunia industri. Di balik dalih efisiensi dan produktivitas, kontrak kerja jangka pendek justru merampas hak-hak dasar buruh. Seperti kepastian kerja, jaminan sosial, dan ruang berorganisasi. Hubungan industrial tidak lagi dilandaskan pada loyalitas dan perlindungan, melainkan pada kalkulasi untung-rugi dalam siklus produksi yang semakin kejam.

Sistem kerja kontrak menciptakan kelas pekerja yang rentan, mudah dipecat, dan enggan bersuara. Tidak sedikit buruh yang bekerja bertahun-tahun di perusahaan dengan status kontraknya setiap enam bulan atau satu tahun, tanpa pernah menjadi pekerja tetap. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pelucutan atas masa depan. Buruh tak bisa merencanakan hidup, tak punya posisi tawar dalam rumah tangga, apalagi dalam relasi produksi. Ia hidup dalam ketakutan yang terstruktur.

Situasi ini diperparah oleh absennya pengawasan negara yang efektif. Pegawai pengawas ketenagakerjaan seringkali tidak independen dari tekanan politik lokal. Pengusaha nakal merajalela karena tahu celah hukum dan lemahnya penegakan. Bahkan ketika pelanggaran ditemukan, sanksi administratif lebih sering jadi formalitas belaka, bukan alat perubahan. Di titik ini, buruh terjebak dalam lingkaran impunitas sistemik: mereka tahu haknya, tapi tak bisa menuntutnya. Negara hadir, tapi hanya sebagai simbol.

Dominasi kerja kontrak adalah bentuk baru dari eksploitasi yang dilegalkan. Sistem kontrak membunuh daya juang, memecah solidaritas buruh, dan menjadikan hubungan kerja sebagai transaksi sesaat. Dalam kondisi seperti ini, buruh kehilangan identitasnya sebagai warga negara produktif dan hanya dilihat sebagai input dalam mata rantai industri global. Maka, ketika kita berbicara tentang demokrasi ekonomi, kita harus jujur mengakui bahwa selama kerja kontrak dan outsourcing mendominasi, maka demokrasi itu masih semu — ia berhenti di bilik suara, tapi tak menjangkau lantai pabrik.

Omnibus dan Kematian Prinsip Keadilan Industrial

Disahkan pada 2020 dan direvisi pada 2023, Undang-Undang Cipta Kerja bukan sekadar paket regulasi ekonomi, melainkan simbol reformasi yang berbalik arah dari demokrasi kerakyatan menuju otoritarianisme pasar. Regulasi ini menjadi puncak dari proses depolitisasi kelas pekerja di era neoliberal. Nilai pesangon dipangkas, waktu kerja diperluas, fleksibilitas kontrak dilonggarkan, dan outsourcing dilegalkan untuk semua jenis pekerjaan. Dalam satu tarikan pena, prinsip-prinsip keadilan industrial yang diperjuangkan buruh pasca-reformasi dihancurkan, diganti dengan logika kompetisi global yang menempatkan manusia kerja sebagai beban biaya, bukan subyek hak.

Omnibus Law memperlihatkan bagaimana negara secara terang-terangan memihak pada logika akumulasi kapital. Alih-alih menjadi penengah antara kepentingan buruh dan pengusaha, negara justru mengambil peran sebagai fasilitator bagi perluasan eksploitasi tenaga kerja. Buruh tak lagi dianggap mitra pembangunan, tetapi variabel dalam tabel efisiensi produksi. Ketika modal menginginkan deregulasi, negara menyiapkan undang-undang. Ketika buruh melawan, negara mengirimkan aparat. Dalam konstruksi ini, hukum tidak berdiri netral, melainkan menjelma instrumen kekuasaan yang dibungkus jargon investasi.

Proses penyusunan UU Cipta Kerja pun mencerminkan minimnya partisipasi publik dan dominasi elit teknokrat. Buruh diajak bicara setelah naskah selesai, bukan sebelum. Serikat pekerja dipinggirkan dalam pembahasan, sementara kamar dagang dan asosiasi industri diberi ruang istimewa dalam mempengaruhi isi regulasi. Prosedur legislasi yang inkonstitusional bahkan dilegalkan kembali dengan revisi formal yang lebih menyerupai tambal sulam politik daripada pembenahan substansi. Ini bukan hanya masalah norma, tapi persoalan arah negara tentang “siapa yang dilindungi, dan siapa yang dikorbankan”.

Dampaknya tidak kecil. Dengan dilegalkannya fleksibilisasi tanpa batas, kita menyaksikan lahirnya generasi buruh tanpa kepastian kerja, tanpa jaminan hidup, dan tanpa daya tawar kolektif. Mereka bekerja dalam bayang-bayang PHK sewaktu-waktu, upah murah, dan beban lembur yang semakin liar. Sementara itu, elite politik dan bisnis membangun narasi pertumbuhan ekonomi dan iklim investasi sehat, seolah-olah indeks kemudahan berusaha lebih penting daripada indeks kesejahteraan manusia. Maka, Omnibus Law bukan sekadar regulasi pro-pasar, ia adalah manifestasi dari mundurnya cita-cita keadilan sosial dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia.

Padahal dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945, negara menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dalam prakteknya, penghidupan layak dijadikan syarat tambahan yang tunduk pada “daya saing.” Negara lebih suka melayani pasar ketimbang rakyat.

Buruh Sebagai Subyek Demokrasi Ekonomi

Kita lupa bahwa reformasi 1998 bukan semata agenda politik. Ia adalah teriakan kelas pekerja atas ketimpangan. Mereka tidak hanya menuntut perubahan rezim, tetapi pembebasan dari sistem ekonomi yang menindas. Ketika Tragedi Trisakti memuncak, ribuan buruh juga turun ke jalan. Mereka menuntut bukan hanya pengunduran Soeharto, tetapi kehidupan yang lebih manusiawi. Buruh menjadi aktor kunci dalam narasi perubahan, bukan hanya sebagai penonton atau pengikut arus politik, tetapi sebagai subyek yang berjuang untuk hak-hak dasar mereka yang telah lama terabaikan.

Namun sejarah mencatat bahwa suara buruh dalam momen-momen puncak itu sering kali dibungkam oleh kekuatan politik yang lebih besar. Ketika demonstrasi meluas dan tuntutan reformasi menggema, buruh menjadi bagian dari massa yang tidak hanya menginginkan kejatuhan Soeharto, tetapi juga perubahan total dalam struktur ekonomi yang lebih berkeadilan. Mereka menuntut akses terhadap kesejahteraan, hak atas pekerjaan yang layak, dan sistem upah yang manusiawi. Tetapi suara mereka dalam gerakan besar reformasi itu tidak selalu terdengar oleh elit politik yang lebih fokus pada transisi kekuasaan daripada pada masalah-masalah mendalam ketimpangan sosial-ekonomi yang telah bertahun-tahun menggerogoti bangsa ini.

Ketika Soeharto akhirnya lengser, harapan buruh ikut terbangun. Mereka percaya reformasi akan membuka peluang untuk merombak struktur ekonomi yang selama ini menindas mereka. Namun kenyataannya, yang terjadi setelah jatuhnya rezim Orde Baru adalah pendalaman kebijakan neoliberal yang justru makin mengokohkan dominasi kapital atas buruh. Alih-alih mendapatkan pembebasan dari ketidakadilan ekonomi, buruh terjebak dalam perubahan kosmetik yang lebih mengutamakan kebebasan pasar daripada kesejahteraan rakyat pekerja.

Kelas pekerja yang sejak awal telah berjuang untuk mengubah sistem, kini melihat diri mereka terpinggirkan dalam proses transisi ini. Pembebasan yang mereka idamkan bukan hanya soal pergantian rezim, tetapi tentang bagaimana ekonomi yang lebih adil bisa tercipta, bukan ekonomi yang hanya menguntungkan pengusaha dan investor besar, tetapi juga melindungi buruh sebagai individu dengan hak-hak yang tak boleh dikompromikan. Reformasi 1998, yang mereka perjuangkan dengan darah dan air mata, kini tampak seperti sebuah kisah yang belum selesai yaitu kisah tentang kelas buruh yang terus-menerus berjuang, meski dunia berubah di atas kepala mereka.

Namun hingga kini, buruh masih dihadapkan pada tantangan struktural yang jauh lebih kompleks daripada sekadar perubahan rezim. Serikat pekerja yang seharusnya menjadi kekuatan kolektif yang dapat memperjuangkan hak-hak buruh, kini terpecah dan sering kali terjebak dalam permainan politik elektoral yang mengikis substansi perjuangannya. Banyak serikat yang alih-alih memperjuangkan kesejahteraan anggota, justru lebih banyak terlibat dalam manuver politik jangka pendek yang tidak relevan dengan kebutuhan buruh di lapangan. Fragmentasi ini menciptakan disorientasi kolektif, di mana perjuangan buruh yang seharusnya bersifat solid dan terorganisir justru terpecah-pecah, tak mampu menghadapi tantangan besar yang menanti di depan.

Advokasi berbasis hukum di tingkat akar rumput pun masih sangat lemah. Meskipun ada sejumlah kebijakan yang tampaknya melindungi hak-hak buruh, implementasinya di lapangan sering kali terhambat oleh minimnya akses terhadap pendidikan hukum yang memadai bagi buruh itu sendiri. Banyak buruh yang tidak tahu bagaimana cara memperjuangkan haknya melalui jalur hukum yang ada. Bahkan lebih parah lagi, mereka takut untuk melakukannya karena takut akan dampak negatif, seperti pemutusan hubungan kerja yang sewenang-wenang atau intimidasi dari pihak perusahaan. Keberadaan advokasi hukum yang efektif di tingkat akar rumput menjadi sangat terbatas, sementara lembaga-lembaga hukum yang ada pun sering kali dikuasai oleh kepentingan bisnis, bukannya menjadikan buruh sebagai subyek yang dilindungi.

Lebih tragis lagi pemerintah sering kali memosisikan buruh sebagai beban, bukan sebagai mitra strategis pembangunan. Meskipun buruh adalah penggerak utama roda ekonomi. Mereka seringkali dilihat sebagai faktor penghambat pertumbuhan ekonomi yang berlebihan. Ketika pemerintah merancang kebijakan ekonomi, buruh lebih sering dipandang sebagai penghalang, dan biaya yang terkait dengan perlindungan hak-hak buruh sering kali dijadikan alasan untuk memperlancar arus investasi. Dalam kerangka neoliberal ini, kesejahteraan buruh sering kali dipandang sebagai biaya, bukan sebagai investasi yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Negara, dalam banyak hal, lebih memilih untuk memberikan insentif kepada investor dan perusahaan besar, alih-alih mengalokasikan sumber daya untuk menciptakan sistem ketenagakerjaan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Dengan tantangan struktural yang semakin kompleks ini, buruh kembali dihadapkan pada dilema yang tidak kunjung terpecahkan. Bagaimana mereka dapat memperjuangkan hak-hak dasar mereka dalam sistem yang terus meminggirkan mereka? Tanpa ada dukungan politik yang kuat dan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan pekerja, perjuangan buruh tampaknya akan terus berjuang dalam kesepian, tanpa mendapatkan dukungan yang seharusnya mereka terima sebagai pilar penting dalam pembangunan ekonomi bangsa ini.

Jika negara terus-menerus abai terhadap kesejahteraan buruh dan memihak sepenuhnya pada kekuatan modal, maka cita-cita reformasi akan tetap menjadi slogan hampa. Demokrasi tanpa keadilan sosial adalah ilusi.

Menata Ulang Arah Reformasi Perburuhan

Kita perlu melihat kembali Reformasi yang dijanjikan pada 1998, yang awalnya bertujuan untuk mengembalikan keadilan sosial dan memperjuangkan hak-hak dasar buruh, harus kembali ke akarnya: penegakan hak buruh sebagai hak konstitusional. Kita tidak bisa terus berpura-pura bahwa masalah buruh dapat diselesaikan dengan perombakan yang hanya menguntungkan segelintir elit. Penegakan hak buruh bukanlah pilihan, melainkan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya. Buruh harus dipandang sebagai subyek, bukan objek, dalam arsitektur pembangunan ekonomi. Hal ini bukan sekadar masalah moral, tetapi sebuah keharusan konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945, di mana setiap warga negara berhak atas pekerjaan yang layak dan penghidupan yang layak.

Langkah pertama dalam koreksi arah ini adalah revisi mendasar terhadap UU Cipta Kerja dengan melibatkan partisipasi aktif serikat buruh. UU ini seharusnya dibahas dan dirumuskan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan, bukan hanya pengusaha dan investor. Serikat buruh, yang seharusnya menjadi perwakilan sah dari pekerja, harus memiliki suara yang kuat dalam setiap kebijakan yang mengatur nasib mereka. Tanpa partisipasi aktif dari buruh, regulasi seperti UU Cipta Kerja akan terus berpihak pada pengusaha besar dan menciptakan kesenjangan sosial yang lebih dalam. Reformasi hukum ketenagakerjaan harus mencerminkan prinsip keadilan sosial yang sejati, yang tidak hanya menguntungkan pihak tertentu tetapi memperhatikan hak dan martabat buruh.

Selain itu kita perlu melakukan reformasi struktural terhadap pengawasan ketenagakerjaan agar benar-benar independen dari kepentingan politik dan ekonomi. Selama ini, lembaga pengawas ketenagakerjaan sering kali terjebak dalam konflik kepentingan yang lebih besar. Pengawasan yang lemah ini memungkinkan banyak pelanggaran hak buruh terjadi tanpa sanksi yang berarti. Pengawasan harus didorong oleh komitmen untuk menegakkan keadilan, bukan untuk memfasilitasi kepentingan perusahaan. Oleh karena itu, pengawasan ketenagakerjaan harus dipisahkan dari kekuasaan politik yang sering kali berkompromi dengan sektor bisnis demi investasi, dan diberdayakan dengan sumber daya yang cukup agar dapat benar-benar melindungi buruh dari praktik yang merugikan.

Penguatan pendidikan hukum di tingkat buruh juga menjadi langkah krusial dalam koreksi arah ini. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang hak-hak mereka, buruh akan terus berada dalam posisi yang rentan dan mudah dipermainkan oleh pengusaha atau bahkan sistem hukum itu sendiri. Pendidikan hukum yang baik akan memberikan buruh pengetahuan yang cukup untuk memperjuangkan hak-haknya dengan cara yang sah dan efektif. Mereka perlu mengetahui jalan hukum yang tersedia bagi mereka, dari pengadilan hubungan industrial hingga pembelaan hukum terhadap pelanggaran hak-hak mereka. Pendidikan hukum bukan hanya akan memperkuat kapasitas buruh dalam melawan ketidakadilan, tetapi juga membantu membangun budaya hukum yang lebih baik di kalangan masyarakat pekerja.

Di sinilah pentingnya membangun kembali kesadaran kolektif: bahwa buruh bukan alat produksi, melainkan subyek dari pembangunan itu sendiri. Buruh adalah penggerak utama perekonomian, dan tanpa kontribusi mereka, tidak ada pertumbuhan yang bisa tercapai. Negara harus menyadari bahwa kesejahteraan buruh adalah bagian integral dari kesejahteraan bangsa. Kesejahteraan buruh adalah cermin dari keadilan sosial dan keberlanjutan pembangunan. Tanpa itu, segala klaim mengenai kemajuan ekonomi hanya akan menjadi ilusi belaka, yang meminggirkan mereka yang paling membutuhkan perhatian dan perlindungan.

Reformasi buruh belum selesai. Bahkan bisa dibilang tertunda

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 menjadi momen krusial yang menegaskan arah kontestasi hukum ketenagakerjaan hari ini. Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja secara formil bertentangan dengan konstitusi, khususnya prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang partisipatif, transparan, dan akuntabel. Namun ironisnya, meskipun prosesnya dinyatakan cacat, UU tersebut tidak serta-merta dibatalkan. Alih-alih melindungi hak-hak dasar buruh, putusan ini membuka celah legal bagi kekuasaan untuk terus memaksakan kebijakan yang telah nyata-nyata menurunkan standar perlindungan ketenagakerjaan.

Bagi gerakan buruh putusan ini adalah pukulan moral dan politik. Mahkamah sebagai benteng terakhir konstitusionalitas justru memberikan ruang kompromi atas nama stabilitas hukum dan ekonomi. Ini menunjukkan bagaimana ruang perjuangan buruh melalui jalur konstitusional semakin sempit, jika tidak ingin disebut tumpul. Ketika hukum tidak lagi mampu menjadi alat perlindungan, maka buruh didorong untuk mencari jalan perlawanan yang lebih radikal, baik melalui gerakan kolektif di jalanan maupun solidaritas lintas sektor yang memperkuat tekanan publik. Putusan ini memperjelas bahwa perjuangan kelas pekerja tidak bisa sepenuhnya disandarkan pada lembaga negara yang kerap abai terhadap keadilan substantif.

Namun di tengah kekecewaan itu, putusan ini juga harus dijadikan sebagai potensi untuk membangun kesadaran baru bahwa hukum bukanlah medan yang netral, melainkan arena tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi. Kelas pekerja harus mulai membaca ulang konstitusi sebagai medan perjuangan yang hidup, bukan sebagai teks mati yang bisa dimanipulasi oleh kekuasaan. Inilah saatnya buruh dan serikat pekerja menyusun ulang strategi perjuangan hukum mereka.

Dengan demikian Putusan MK 168/PUU-XXI/2023 tidak boleh hanya dibaca sebagai kekalahan, tetapi sebagai titik balik untuk memulihkan arah perjuangan buruh ke jalur yang lebih radikal, lebih progresif, dan lebih berpihak pada keadilan sosial. Buruh bukan sekadar angka statistik ekonomi, mereka adalah warga negara yang hak-haknya dijamin oleh konstitusi. Bila konstitusi mulai kehilangan daya pelindungnya, maka tugas sejarah kitalah secara bersama-sama untuk menghidupkan kembali semangat reformasi. Bukan demi pertumbuhan semata, tapi demi keberadaban bangsa.

Buruh adalah Pembangun Peradaban!

Penulis: Raymon LM (Badan Pengawas FSPBI)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *