Kemnaker Hapus Syarat Diskriminatif, apakah masalah telah selesai?

Foto : Mentri Ketenagakerjaan RI (Antara)

Baru-baru ini, Kementerian Ketenagakerjaan menghapus syarat pencari kerja yang diskriminatif di platform SISNAKER. Syarat seperti batas usia maksimal, berpenampilan menarik (good looking), dan status belum menikah, sekarang telah dihapus. Ini merupakan langkah penting yang sudah seharusnya dilakukan sejak lama.

Selama bertahun-tahun, banyak warga negara yang secara tidak adil tertolak dalam dunia kerja bukan karena kurangnya kemampuan atau integritas, melainkan karena usia mereka dianggap terlalu tua, wajah mereka dianggap kurang menarik, atau karena mereka telah menikah. Praktik ini bukan hanya keliru secara etis, tetapi juga bertentangan dengan amanat konstitusi dan prinsip hak asasi manusia.

Konstitusi Menjamin Kesetaraan

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Negara wajib menjamin bahwa akses terhadap pekerjaan bersifat adil, tanpa diskriminasi atas dasar apapun.

Praktik membatasi usia, menetapkan standar penampilan tertentu, atau menjadikan status perkawinan sebagai syarat kerja, jelas melanggar prinsip kesetaraan yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, yang menolak segala bentuk perlakuan diskriminatif.
HAM dan Regulasi Nasional.

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ditegaskan bahwa setiap warga negara, sesuai dengan bakat dan kecakapan, berhak atas pekerjaan yang layak. UU ini menolak diskriminasi dalam bentuk apa pun, termasuk dalam proses rekrutmen tenaga kerja.

Di bidang ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juncto UU Cipta Kerja Pasal 5 dan 6, mewajibkan perlakuan yang sama dalam kesempatan kerja. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, yang melarang pembatasan kerja berdasarkan alasan non-substantif seperti usia, jenis kelamin, dan status sosial.

Ketidakadilan yang Terstruktur

Syarat-syarat diskriminatif seperti “maksimal usia 25 tahun,” “belum menikah,” atau “good looking” adalah cerminan dari ketidakadilan yang sudah dilembagakan dalam dunia kerja. Mereka yang tidak sesuai dengan stereotip visual atau usia ideal, tersingkir dari sistem kerja yang semestinya memberi ruang bagi semua warga negara.

Banyak perempuan yang telah menikah tidak diberi kesempatan kerja, dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun logika ekonomi. Talenta-talenta potensial dari kelompok usia produktif lanjut juga tersisih hanya karena angka umur, bukan karena tidak mampu. Ini merupakan kerugian besar secara sosial maupun ekonomi.

Perlu Perubahan Sistemik

Langkah Kemnaker untuk membersihkan sistem rekrutmen dari syarat diskriminatif patut diapresiasi. Namun itu saja tidak cukup. Perubahan harus terjadi secara sistemik, dengan memastikan: Dunia usaha diberi pedoman perekrutan berbasis kompetensi, bukan atribut fisik.

Edukasi bagi bagian SDM agar memahami prinsip kesetaraan kerja.
Sanksi tegas bagi perusahaan yang masih menerapkan syarat kerja yang diskriminatif.

Negara perlu hadir, tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai pengawas aktif terhadap dunia kerja agar lebih inklusif. Perekrutan tenaga kerja harus dikembalikan pada esensi profesionalisme: kemampuan, integritas, dan potensi, bukan stereotip biologis.

Pekerjaan bukanlah hadiah, tetapi hak. Sudah waktunya sistem kerja di Indonesia dibersihkan dari syarat-syarat usang yang melanggengkan ketimpangan. Keadilan sosial bukan jargon, tetapi harus menjadi napas dari setiap kebijakan ketenagakerjaan. Penghapusan syarat diskriminatif bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi bentuk nyata penghormatan terhadap martabat manusia.

Buruh Adalah Pembangun Peradaban

Ditulis: Raymon Lidra Mufti (Badan Pengawas FSPBI)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *