
Perhatikanlah bagaimana hukum Indonesia secara perlahan menyingkirkan istilah “buruh” dari teks-teks resminya. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, istilah “pekerja” dan “tenaga kerja” kini lebih dominan digunakan. Kesan yang ditampilkan adalah netral, modern, dan administratif. Tapi benarkah bahasa hukum kita sekadar mengikuti perkembangan zaman?
Padahal jika ditelusuri secara historis, istilah “buruh” tidak lahir dari ruang hampa. Ia hadir dari peristiwa-peristiwa sosial yang penuh luka dan perlawanan. Mulai dari mogok kerja, demonstrasi upah layak, hingga penggusuran paksa terhadap ruang hidup buruh kota. Kata “buruh” adalah suara kolektif yang mengandung muatan ideologis kelas. Ia bukan sekadar profesi, melainkan simbol posisi dalam struktur ekonomi yang timpang. Ketika negara mengganti istilah ini dengan istilah “pekerja” atau “tenaga kerja”, yang terjadi bukanlah pembaruan, melainkan penghilangan identitas dan ingatan kolektif yang telah diperjuangkan sejak zaman kolonial.
Kata “buruh” bukan sekadar istilah. Ia adalah simbol sejarah panjang perjuangan kelas pekerja.
Dalam catatan etimologis Melayu dan bahkan akar kata Sansekerta śramaṇa, “buruh” melambangkan kerja keras, keringat, dan ketertindasan. Dalam sejarah modern Indonesia, buruh adalah wajah dari perjuangan menuntut upah layak, jaminan sosial, dan perlindungan hukum. Lebih dari itu, akar kata śramaṇa mengandung makna yang dalam tentang pengabdian dan pengorbanan fisik maupun mental.
Dalam tradisi Sansekerta, śramaṇa adalah seseorang yang hidup dengan kerja keras dan disiplin sebagai bentuk pembebasan dari penderitaan. Jika kita bawa makna ini ke konteks sosial-politik Indonesia, buruh bukan hanya sekadar pekerja kasar atau tenaga manual. Ia adalah entitas yang mengalami penindasan sistemik namun terus berjuang untuk kebebasan ekonomi dan sosialnya. Jadi, menghapus istilah “buruh” dari wacana hukum dan publik berarti mengabaikan jejak historis dan spiritual perjuangan yang telah membentuk identitas kelas ini.
Secara historis, istilah “buruh” juga melekat pada solidaritas kolektif yang lahir dari kondisi ketidakadilan dan eksploitasi. Buruh adalah subjek yang mengorganisir diri dalam serikat-serikat pekerja, mengadakan aksi mogok, dan menuntut reformasi sosial. Identitas ini terbentuk dalam konteks relasi produksi yang timpang, di mana buruh menuntut hak atas pengakuan dan perbaikan kondisi hidupnya. Menghapus kata “buruh” sama artinya dengan mereduksi perjuangan mereka menjadi sekadar hubungan kerja administratif yang steril dan kehilangan konteks sosial-politik yang mendasarinya.
Hilangnya istilah “buruh” dalam wacana publik dan hukum tidak sekadar persoalan bahasa, melainkan juga memiliki dampak sosial-politik yang serius.
Pertama, penghapusan istilah ini secara simbolis melemahkan kesadaran kelas pekerja sebagai kelompok yang memiliki identitas dan kepentingan bersama. Dengan bergesernya bahasa dari “buruh” ke “pekerja” atau “tenaga kerja”, buruh kehilangan suara historisnya yang selama ini menjadi basis solidaritas dan perjuangan kolektif. Akibatnya, potensi mobilisasi sosial buruh untuk menuntut hak dan keadilan menjadi tereduksi, bahkan terkadang tidak terlihat sebagai subjek perubahan sosial yang penting.
Dampak kedua menyentuh arena kebijakan publik dan hukum ketenagakerjaan. Ketika bahasa hukum mengadopsi istilah yang lebih “netral” dan administratif, perhatian terhadap isu-isu struktural seperti eksploitasi, ketimpangan upah, dan ketidakadilan dalam hubungan industrial sering kali diabaikan atau dipandang sebagai masalah teknis semata. Dalam konteks ini, kebijakan yang dihasilkan cenderung lebih berpihak pada kepentingan modal dan fleksibilitas pasar ketimbang perlindungan buruh. Hilangnya istilah “buruh” juga berimplikasi pada lemahnya pengakuan terhadap hak-hak kolektif, seperti hak berserikat dan berunding, yang merupakan instrumen utama dalam memperjuangkan keadilan sosial.
Dengan kata lain, penghapusan istilah “buruh” dari teks hukum dan diskursus publik bukan hanya soal perubahan kata, tapi juga soal redistribusi kekuasaan dan penempatan ulang posisi sosial-politik kelas pekerja. Negara dan elit ekonomi menggunakan netralisasi bahasa ini untuk mereduksi potensi perlawanan dan mengukuhkan dominasi pasar yang tak terkekang. Oleh karena itu, menjaga keberadaan istilah “buruh” dalam wacana hukum dan publik adalah langkah penting untuk mengembalikan narasi perjuangan sosial yang selama ini menjadi fondasi gerakan keadilan sosial di Indonesia.
Bahasa hukum yang menghindari kata “buruh” juga mencerminkan strategi kekuasaan dalam membungkam narasi perlawanan. Dalam kerangka negara modern yang dikuasai logika pasar, netralitas istilah seperti “tenaga kerja” memberi kesan bahwa relasi kerja adalah kontrak simetris antara dua pihak yang setara. Padahal kenyataannya tidak demikian. Dalam praktiknya, buruh tetap berada dalam posisi yang rentan terhadap pemutusan hubungan kerja sepihak, upah murah, dan lemahnya penegakan hukum. Maka, penghapusan istilah “buruh” dari perundang-undangan bukanlah peristiwa biasa. Ia adalah bentuk kekerasan simbolik yang memanipulasi realitas sosial demi kepentingan dominasi pasar.
Bahasa hukum yang netral bisa menjadi alat pengaburan relasi kuasa. Dalam teori hukum progresif yang diajukan Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya berpihak kepada kelompok yang lemah. Maka, ketika istilah “buruh” mulai disisihkan, ini bukan hanya perubahan semantik—ini adalah dekonstruksi terhadap identitas kolektif kelas pekerja.
Kita sedang menyaksikan apa yang disebut para ahli sebagai “netralisasi ideologis” melalui bahasa hukum. Tanpa disadari, netralisasi ini dapat melemahkan semangat kolektivitas buruh, karena kata “tenaga kerja” lebih menekankan fungsi ekonomis manusia ketimbang posisinya dalam struktur sosial. Ia seolah menjadikan manusia sebagai bagian dari mesin produksi.
Alih-alih menghapus kata “buruh”, negara seharusnya menghidupkannya kembali dengan penuh hormat. Biarkan istilah itu berdiri sejajar dengan “pekerja profesional”, “tenaga kerja ahli”, atau sebutan lainnya. Karena dalam demokrasi, tak ada yang hina dalam menjadi buruh—yang hina adalah sistem yang menindasnya diam-diam melalui bahasa.
Jika bahasa adalah cermin dari jiwa hukum, maka mari kita pertahankan keberanian untuk menyebut realitas sebagaimana adanya: bahwa buruh adalah subjek hukum yang nyata, dan mereka belum selesai dengan perjuangan.
Buruh adalah pembangun peradaban
Penulis : Raymond LM (Dewan Pengawas FSPBI)