
Refleksi Aksi Massa 19 Oktober 2024.
Jarum jam menunjukkan pukul 23.15 WIB. Aku lihat kamar adikku sudah tidak ada kehidupan. Entah pukul berapa dia tidur. Yang pasti, ketika tiba, rumah sudah sepi seperti tidak berpenghuni. Tapi memang betul sih rumah yang kutinggali seperti tidak ada penghuninya. Setelah orang tuaku meninggal, hanya aku dan adikku satu-satunya yang tinggal di rumah. Kedua orang tuaku meninggal saat Covid-19.
Biasanya, sekitar pukul 08.00 WIB adikku sudah berangkat kerja. Sementara aku masih asyik di alam mimpi. Pukul 13.00 WIB atau 14.00 aku bangun. ‘Kaum night owl atau burung hantu’ orang menyebut kami yang selalu terjaga malam hari. Sejak kapan kebiasaan begadang ini aku lakukan? Aku tidak ingat. Mungkin sejak tidak bekerja atau sejak ditinggal orang tuaku.
Malam semakin larut. Sesekali terdengar suara kendaraan bermotor tak beraturan dari luar. Aku masuk dapur dan memanaskan air. Tidak sampai lima belas menit aroma kopi hitam hampir memenuhi seisi ruangan tamu berukuran 3×4 meter. Rasanya tidak afdol kopi tanpa rokok. “Beruntung stok rokok ‘tingwe’-ku masih banyak. Tidak perlu ngelinting lagi,” batinku. Tinggal bakar dan isap. Berpadulah aroma kopi dan asap rokok. Perpaduan yang indah, di tengah kegundahanku yang bercokol di hati sejak sore tadi.
Sumber kedongkolanku adalah sore tadi. Ketika itu, aku scroll-scroll media sosial. Ceritanya pengen tahu update kawan-kawan yang aksi massa. Kebetulan aku dan organisasiku tidak terlibat aksi tersebut. Namun yang kulihat dari akun-akun seperti Persatuan Buruh dan akun-akun lain, membuat darahku mendidih: marah dan muak. Aku akan menceritakan kemuakan dan kemarahanku terhadap isilop-isilop di tulisan ini.
Seminggu sebelumnya, ramai di media sosial, seperti Facebook, Instagram dan grup-grup perpesanan seperti Whatsapp. Dikatakan bahwa akan terjadi aksi massa pada 19 Oktober 2024 bertepatan dengan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Dari postingan-postingan yang aku baca, aksi massa ini dilakukan sebagai ekspresi ketidakpercayaan terhadap rezim Prabowo-Gibran. Karena Prabowo yang latar belakangnya dari militer dan keterlibatan Prabowo dalam kasus-kasus pelanggaran pelanggaran hak asasi manusia. Seperti diutarakan oleh Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andi Muhammad Rezaldy dalam Kompas.com, (28/02/2024), “Prabowo diberhentikan dari dinas kemiliteran menurut Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP pada 1998 karena terbukti bersalah melakukan beberapa penyimpangan dan kesalahan, termasuk keterlibatannya dalam aktivitas penculikan terhadap sejumlah aktivis pro demokrasi antara 1997 sampai 1998.”
Tebersit sih di pikiran: apakah aksi massa itu memiliki hubungan dengan pembagian jabatan atau murni protes terhadap presiden pelanggar HAM? Setahuku, presiden konfederasi itu memiliki rekam jejak mendukung pelanggar HAM di Pemilu 2014 dan 2019. Waktu itu, alasannya karena ‘hanya dia’ yang bersedia menandatangani kontrak politik dengan serikat buruh. Tapi ada juga sih, ‘orang-orang kiri’ yang berusaha membelanya, “Itu kan dulu. Sekarang dia udah berubah dan semakin progresif.” Tapi, kabar terbaru, dari ‘bisik-bisik tetangga dan dari sumber tepercaya yang tidak perlu disebutkan namanya, Pak Ketua itu akan dijadikan mantri. Eh maksudnya,–menteri maaf thypo J, dalam kabinetnya Prabowo. Ternyata zonk!
Satu lagi nih, soal wakil presiden yang akan dilantik. Kawan-kawan gerakan massa menyebut Gibran ‘anak haram’ konstitusi. Gibran adalah anak dari Presiden Joko Widodo, yang berhasil menjadi calon wakil presiden setelah Ketua MK Anwar Usman berhasil mengubah peraturan mengenai syarat batas usia capres dan cawapres. Anwar Usman adalah pamannya Gibran.
Sebelumnya, gerakan disibukkan dengan aksi-aksi yang memprotes perubahan usia calon presiden dan wakilnya. Pada 16 Oktober 2023 Mahkamah Konstitusi membaca putusan uji materi terkait batas usia capres-cawapres perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai berusia 40 tahun, atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,” demikian putusan itu dibacakan. Putusan MK ini meloloskan Gibran yang berusia 35 tahun, untuk menjadi calon wakil presiden.
Menurutku sih, bukan soal usia yang terlalu muda menjadi cawapres. ‘Kan bagus anak muda berani tampil ke panggung politik dan mengabdi kepada rakyat, ketimbang ngabisin waktu dengan nongki-nongki dan jadi beban keluarga. Masalahnya, dalam kasus pencalonan tersebut, terdapat praktik penyalahgunaan kekuasaan: ayah dan paman bersatu padu untuk mengubah peraturan perundangan demi ‘menyediakan lapangan kerja buat anaknya’. Itulah yang mendorong sebutan, Jokowi membentuk politik dinasti dan oligarki. Ada juga sih yang nyebutin Gibran tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai untuk memimpin negara sebesar Indonesia. Ia baru terlibat politik praktis 5 tahun. Dia masuk menjadi Kader PDIP pada tahun 2019 dan hanya jadi Walikota Solo selama 2 Tahun 8 bulan saja.
Pikirku, mungkin saat ini kita sedang mencoba apakah generasi muda bisa membangun dan memajukan negara ini tapi dalam realitas sosial kita tidak bisa hanya mengandalkan teori. Pengalaman adalah hal yang sangat penting dalam membentuk kehidupan manusia. Apalagi mengurus negara dengan penduduk lebih dari 282 juta jiwa. Sedangkan wakil presiden yang akan lengser, yang sudah sepuh dan penuh dengan pengalaman pun dianggap tidak memiliki peran apapun.
Jadi, menurutku, dalam periode-periode ke depan substansi maupun prosedur demokrasi memang benar-benar berantakan. Itulah kenapa aksi massa 19 Oktober dihadang aparat keamanan. Alasan beriringan dengan pelantikan presiden dengan menerjunkan pasukan pengamanan yang berlapis menandakan terjadinya pembatasan ruang demokrasi.
Seperti video yang saya tonton akun Instagram Persatuan Buruh milik KPBI. Terlihat bahwa aksi massa di wilayah Jakarta Utara dihadang oleh aparat kepolisian di jalur busway. Akibatnya, massa aksi tidak bergerak kemana pun. Negosiasi antara perwakilan massa aksi dengan aparat keamanan pun tidak menguntungkan para demonstran. Aparat keamanan memaksa massa aksi agar membubarkan diri.
Akibatnya massa aksi marah dan melakukan pemblokiran jalan yang menyebabkan kemacetan. Polisi bergeming dengan ancaman para demonstran yang memblokade jalan umum. Namun, yang terjadi kemudian adalah pertengkaran antara masyarakat umum dengan para demonstran.
Saat itu pun, terdapat masyarakat umum yang berusaha menembus blokade massa aksi. Massa aksi pun marah. Aku melihat salah satu peserta massa aksi yang memukul helm pengguna jalan tersebut dengan tiang bendera. Terjadilah keributan antara pengguna jalan dengan massa aksi. Karena alasan itulah aparat keamanan memiliki alasan untuk mengambil tindakan membubarkan massa aksi. Karena massa aksi dianggap mengganggu kepentingan umum.
Aparat keamanan semakin memiliki alasan untuk memaksa massa aksi membubarkan diri. Satu orang massa aksi ditangkap. Saya tidak tahu siapa. Mungkin peserta yang melakukan pemukulan tadi.
Di video lain yang saya tonton. Ada negosiasi antara perwakilan massa aksi dengan pihak polisi. Ada pernyataan menarik dari pihak polisi, “Waktu memberikan pemberitahuan aksi ini apakah korlap mendapatkan arahan dari polda metro jaya ataupun mabes polri akan tetapi tidak ada”.
Saya melewatkan detail negosiasi tersebut. Tapi, menurut saya, aparat keamanan tidak seharusnya mengatur-atur aksi massa. Setahu saya, dalam prosedur mengemukakan pendapat di muka umum cukup memberitahukan bukan izin, apalagi arahan. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. UU tersebut hanya mengatur pemberitahun, bukan izin apalagi arahan dari aparat keamanan.
Saya juga melihat video dari akun Instagram Konfederasi KASBI. Di video itu saya melihat ada perdebatan antara Ketua Umum KASBI Sunarno dengan pihak polisi AKBP Adri, yang menjabat sebagai Kasubdit Sunluhkum Bidkum Polda Metro Jaya.
Dengan nada tinggi dia berkata, “Hari ini tidak boleh ada kegiatan unjuk rasa, kami akan melakukan sterilisasi. kalau bapak (massa aksi) tidak mau mengindahkan perintah kami. Kami akan menggunakan cara represif secara terukur. Dan tidak ada pengecualian. Ini atas nama negara republik Indonesia. Karena ini kegiatan pelantikan presiden republik Indonesia. Bapak akan bekerjasama dengan saya atau tidak? makanya bapak bisa bubar dengan baik-baik atau akan saya angkat (ditangkap)”.
Itu pernyataan yang dilontarkan kepada perwakilan massa aksi. Saya baru paham ternyata perintah penguasa itu mutlak. Seakan-akan aksi massa ini dapat membahayakan jalannya pelantikan presiden dan wakil presiden. Aksi massa seperti dipersepsikan merongrong kekuasaan, membuat kerusuhan dan onar.
Sebagai orang biasa, logika saya sangat sederhana. Jabatan presiden maupun wakil presiden dipilih oleh rakyat. Tolong jangan disempitkan makna rakyat hanya sebagai pemilih dan pencoblos dalam Pemilu. Karena itu, hak rakyat pula untuk menggunakan hak pilihnya atau tidak.
Kita bisa membayangkan bahwa aksi massa 19 Oktober 2024 sebagai salah satu upaya penghalang-halangan. Contoh-contoh lainnya, bisa kita menyebutkan lebih banyak lagi: upaya-upaya aparat aparat negara membatasi bahkan menghalangi rakyat menyampaikan aspirasinya.
Dari peristiwa ini saya kutip puisi Peringatan karya Wiji Thukul
Apa bila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan,
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: LAWAN!
Kembali dengan pernyataan AKBP Adri. Dia melanjutkan, “Hari ini bapak (massa aksi) bukan merah putih, saya merah putih. Bapak kalau menyampaikan unjuk rasa setelah tanggal 20”.
Jelas sekali, menurut saya, aparat keamanan menggunakan membuat posisi berbeda: peserta aksi massa bukan nasionalis. Aparat menggunakan simbol bahwa aparat keamanan “merah putih” dan massa aksi “bukan merah putih”.
Saya tidak habis pikir dengan pernyataan dari Pak polisi itu . Kalau ada yang butuh penjelasan kenapa sebelum tanggal 20 tidak boleh aksi dan baru boleh setelah tanggal 20. Silakan pertanyakan ke pihak yang mengeluarkan pernyataan tersebut.
Untuk pernyataan yang paling ‘merah putih’. Menurut saya, itu hanyalah bualan semata, sebenarnya mereka bukan si paling ‘merah putih’, si paling cinta Indonesia atau pun si paling NKRI harga mati. Karena keberadaan dari mereka memang untuk mengamankan pemilik jabatan dan memastikan kelancaran akumulasi kekayaan.
Karena penasaran, saya mencari informasi lebih detail aksi massa penghadangan ini. Sayangnya, saya tidak menemukan apapun.
Dari sebuah grup perpesanan, saya mendapatkan informasi yang sulit dikonfirmasi. Katanya, aparat keamanan memang telah menyiapkan diri untuk menghadang aksi massa di hari pelantikan, bahkan direncanakan untuk membubarkan dan menangkap paksa pentolan-pentolan aksi massa dengan tuduhan makar. Ke depan, aktor-aktor negara dan pemilik kekayaan terus memperkuat diri. Karena itu, rakyat harus berlawan dan bersatu. Syarat untuk bersatu dan berlawan adalah terbangungnya kesadaran. Sadar bahwa membuat persatuan itu tidak mudah dan harus rela mengalah demi perjuangan bersama. Rela menyediakan panggung untuk orang lain. Kan repot kalau ngajak bersatu, tapi “gue yang mimpin”. Untuk membangun kesadaran, lakukan diskusi-diskusi dan pendidikan. Lakukan secara konsisten, ramaikan kembali sekretariat-sekretariat. Ingat perlawanan itu datangnya dari diskusi di sekre-sekre bukan di hotel-hotel.
Ditulis : Kobamskuy (Mantan Buruh Asal Tangerang Banten)