Pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja di Indonesia telah membawa dampak signifikan pada nasib buruh dan arah pergerakan buruh di negeri ini. Awalnya Undang-undang Cipta Kerja dipromosikan sebagai instrumen untuk meningkatkan iklim investasi dan membuka lapangan pekerjaan. Namun malah sebalikanya, buruh semakin tersiksa dengan kondisi seperti status pekerja, sistem pengupahan, dan sistem kontrak kerja.
Saat ini, buruh menjadi lebih rentan dan tidak stabil, seolah-olah keberadaan mereka sebagai bagian dari fondasi perekonomian nasional semakin diremehkan. Bukan hanya itu, keberadaan serikat buruh yang dulunya menjadi alat perjuangan hak-hak pekerja, saat ini juga melemah. Seiring dengan perubahan kebijakan yang cenderung membatasi kekuatan serikat dan menempatkan buruh pada posisi tawar yang kian rapuh.
Setelah dikeluarkannya Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023 tentang UU Cipta Kerja. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan dan memberikan penafsiran ulang terhadap beberapa pasal dalam undang-undang tersebut. Maka dari perspektif hukum tata negara, Putusan ini tidak serta merta mencabut pemberlakuan UU Cipta Kerja secara keseluruhan. Melainkan menegaskan beberapa ketentuan yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 harus memerintahkan ulang agar sesuai dengan prinsip konstitusionalitas.
Berikut ini poin-poin penting dari penghentian tersebut:
- Penegasan Hak Pekerja:
- Pasal 88 ayat (1) dinyatakan inkonstitusional. Sepanjang tidak dimaknai, bahwa pekerja/buruh memiliki hak atas penghidupan layak yang mencakup kebutuhan hidup secara wajar untuk dirinya dan keluarganya. Termasuk pendidikan, kesehatan, dan rekreasi.
- Pasal 88 ayat (2) ditegaskan, bahwa kebijakan pengupahan harus melibatkan dewan pengupahan daerah. Hal ini untuk memastikan keseimbangan antara pemerintah pusat dan daerah.
- Pengaturan Outsourcing:
MK menegaskan perlunya menteri menetapkan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Untuk memberikan kejelasan dan perlindungan bagi pekerja, sehingga mengurangi konflik antara perusahaan dan pekerja terkait status kerja dan hak-hak mereka.
- Waktu Kerja dan Istirahat:
MK mengoreksi pengaturan waktu kerja dan istirahat yang tidak memberikan kejelasan mengenai hak pekerja yang bekerja lima hari dalam seminggu.
- Perubahan Norma Lain:
Beberapa pasal dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat. Artinya tetap berlaku tetapi harus ditafsirkan sesuai dengan arahan MK untuk memenuhi prinsip keadilan dan konstitusionalitas.
Putusan ini mengarahkan agar UU Cipta Kerja lebih menghormati hak-hak dasar pekerja dan buruh. Seperti, memastikan keadilan dalam pengupahan, dan memberikan kepastian hukum yang lebih baik. Dalam hal ini, pasal-pasal yang diubah sifatnya lebih kepada penyesuaian interpretasi untuk memastikan kesesuaiannya dengan UUD 1945. Bukan pencabutan secara langsung
Selain itu, Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 juga membawa perubahan signifikan pada beberapa pasal lain dalam Undang-undang Cipta Kerja.
Berikut beberapa perubahan penting:
- Pasal 56 ayat (3) terkait PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu):
MK menyatakan bahwa pembatasan jangka waktu PKWT harus jelas untuk melindungi pekerja. Ketentuan dalam UU Cipta Kerja, yang menetapkan batas waktu PKWT hingga lima tahun. Harus dijalankan dengan pengaturan yang melindungi hak pekerja dalam kontrak kerja jangka pendek ini.
- Pasal 64 terkait Alih Daya (Outsourcing):
MK meminta agar pemerintah menetapkan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan melalui regulasi yang lebih rinci. Hal ini bertujuan menghindari penyalahgunaan mekanisme outsourcing dan memastikan pekerja mendapat perlindungan memadai.
- Pasal 79 terkait Waktu Istirahat dan Cuti:
MK menegaskan pentingnya kejelasan mengenai hak pekerja yang bekerja dengan pola lima hari kerja per minggu. Hak untuk mendapatkan dua hari istirahat harus diatur dengan tegas, mencerminkan prinsip keadilan.
- Pasal 88C terkait Upah Minimum:
MK menyatakan pentingnya kebijakan pengupahan yang mempertimbangkan struktur dan skala upah yang adil. Pengaturan ini mencakup upah minimum, upah kerja lembur, dan komponen lain yang menjadi dasar kesejahteraan pekerja.
- Pasal 81 angka 27 dan 28 mengenai Hak Penghidupan Layak:
Hak pekerja untuk penghidupan layak dikuatkan dengan penafsiran bahwa hak tersebut harus mencakup semua kebutuhan pokok pekerja dan keluarganya. Termasuk pendidikan, kesehatan, dan jaminan hari tua.
- Pasal 91 tentang Kewajiban Perusahaan:
MK mengingatkan bahwa perusahaan wajib menyusun peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang adil. Khususnya untuk memastikan perlindungan pekerja terkait upah dan kondisi kerja lainnya.
Putusan ini mempertegas bahwa UU Cipta Kerja harus dijalankan dengan memperhatikan beberapa hal. Seperti, asas keadilan sosial, perlindungan hak asasi manusia, dan keseimbangan antara kepentingan pekerja dan pengusaha. Pemerintah juga diminta segera merevisi aturan teknis untuk memenuhi arahan MK, sehingga implementasi UU ini tidak merugikan pihak manapun.
Dalam konteks putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Cipta Kerja. Posisi kaum buruh menjadi sangat penting karena banyak pasal yang berdampak langsung pada kesejahteraan, hak, dan perlindungan mereka. Kaum buruh menghadapi dua tantangan besar:
Pertama, memastikan putusan ini diterjemahkan dalam kebijakan yang menguntungkan mereka.
Kedua, menjaga posisi tawar mereka dalam diskusi kebijakan dan regulasi pasca-putusan.
Oleh karena itu, kaum buruh Indonesia harus segera melakukan gerilya politik. Supaya tidak kembali dipecundangi oleh kepentingan-kepentingan yang selama ini sangat diuntungkan oleh UU Cipta Kerja.
Mengapa Gerilya Politik Diperlukan?
- Pengaruh dalam Penafsiran Ulang:
Setelah putusan MK, interpretasi pasal-pasal tertentu, seperti terkait outsourcing, PKWT, dan pengupahan, akan bergantung pada peraturan teknis dan kebijakan pemerintah. Kaum buruh perlu memastikan suara mereka didengar dalam proses ini agar tafsir ulang tidak hanya menguntungkan pengusaha.
- Peningkatan Representasi dalam Regulasi:
Tim pengarah dalam penyusunan peraturan turunan sering kali didominasi oleh pihak pemerintah dan pengusaha. Melalui gerilya politik, buruh dapat masuk ke lingkaran itu. Baik melalui serikat pekerja, aliansi masyarakat sipil, atau keterlibatan langsung dalam konsultasi publik.
- Advokasi untuk Kejelasan Hukum:
Banyak poin dalam putusan MK memerlukan kejelasan hukum lebih lanjut, seperti jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan dan mekanisme pengupahan. Kita harus berjuang untuk memastikan kejelasan ini mencerminkan keadilan bagi buruh.
Strategi Gerilya Politik:
- Konsolidasi Internal:
Serikat buruh dan organisasi pekerja harus memperkuat basis anggotanya dan menyusun strategi bersama. Langkah ini penting untuk menyampaikan tuntutan kolektif secara terorganisir.
- Aliansi dengan Akademisi dan Masyarakat Sipil:
Kolaborasi dengan pakar hukum, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi dapat memperkuat argumen buruh di ruang-ruang pengambilan keputusan.
- Partisipasi dalam Proses Kebijakan:
Mengawasi dan berpartisipasi aktif dalam uji publik serta forum konsultasi yang digelar pemerintah.
- Menggunakan Jalur Konstitusional:
Jika ada indikasi bahwa peraturan turunan tidak sesuai dengan putusan MK atau merugikan buruh. Serikat pekerja dapat menggunakan mekanisme hukum seperti uji materi kembali di MK.
Kita harus melihat putusan MK ini sebagai peluang untuk memperkuat posisi tawar buruh. Gerilya politik merupakan salah satu cara untuk memastikan regulasi pasca-putusan benar-benar melindungi hak-hak buruh dan mewujudkan keadilan sosial. Pendekatan ini tidak hanya mendesak, tetapi juga strategis. Dengan tujuan untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraan buruh di tengah tantangan sistem ekonomi yang seringkali lebih memihak pengusaha. Ingat, kaum buruh jangan pernah lagi memberikan kwitansi kosong untuk penguasa dan pengusaha!
Penulis: Raymon Lidra Mufti (Ketua Badan Pengawas FSPBI)