Sulit untuk menolak kenyataan bahwa tahun 2020 merupakan tahun yang berat dialami oleh hampir semua orang di belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.
Rentetan cobaan dan penderitaan yang melanda Indonesia mulai dari banjir, kebakaran hutan hingga pandemi Covid-19 benar-benar menjadi momok bagi banyak orang.
Masih membekas dalam ingatan ketika Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama Covid-19 menimpa dua warga Depok pada awal Maret 2020 lalu. Sejak saat itu, situasi dan kondisi perlahan berubah dan tentunya mengubah segala kebiasaan masyarakat Indonesia.
Tanpa bermaksud melupakan kalangan lain, salah satu yang terdampak akibat pandemi Covid-19 adalah kalangan pekerja. Kita tahu, banyak perusahaan tanpa kompromi satu persatu bahkan serentak mem-PHK pekerja dengan alasan efisiensi.
Melihat situasi seperti ini, Ketua Federasi Serikat Pekerja Bandara Indonesia (FSPBI) Edi Lesmana geram dengan aksi pemutusan hubungan kerja sepihak yang dilakukan para perusahaan.
Edi mencurigai pandemi dijadikan momentum perusahaan untuk mengurangi para pekerja terutama karyawan kontrak, dengan alasan kondisi keuangan karena pandemi.
“Yang tak terpikir oleh saya adalah 10 tahun ke belakang ini para pengusaha membuat perencanaan keuangannya seperti apa?” ujarnya.
Manajemen risiko tidak dijalankan perusahaan dengan benar atau saat itu belum terbentuk sehingga menjalankan perusahaan seperti menjalankan opera sirkus.
Yang lebih disayangkan, mengapa banyak perusahaan lebih memilih mengambil PHK pekerjanya? Karena tidak ada ketegasan bagi pelanggar UU 13 tentang Ketenagakerjaan.
Kalangan perusahaan meyakini meskipun ditindak akan dibawa ke PHI dan butuh waktu cukup lama untuk sampai ke persidangan.
“Jika kalah, mereka masih bisa melakukan peninjauan kembali (PK) dan jika PK ditolak, para pengusaha banyak yang tidak menjalankan putusan inkrah persidangan.”
Hebatnya, keberanian para pengusaha ini juga didorong modal yang kuat untuk terus melawan di persidangan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan para pekerjanya. Ketika banyak yang di-PHK, mereka juga banyak yang tidak menggugat ke pengadilan. Salah satu alasannya tidak ada modal untuk mengurus kasusnya.
Belum selesai satu hal, kini datang lagi ‘mahluk’ yang mengerikan bernama Omnibus Law. Ini akan menambah keberanian para pengusaha yang bisa semena-mena terhadap pekerjanya. Untuk itu, organizing para pekerja tidak boleh berhenti bahkan strategi-strategi organizing harus lebih diciptakan untuk kokohnya dinding perjuangan.
Belum lagi banyak munculnya kegiatan berbasis teknologi yang seolah menyingkirkan tenaga manusia, menambah daftar alasan banyak orang di-PHK dan menganggur.
“Maka bagi saya, tahun 2020 adalah tahun terpuruknya masa depan pekerja Indonesia.”
Hal sama diakui Jacqueline Tuwanakotta, Sekjen FSPBI. Menurut Jacky, sapaan akrabnya, tahun 2020 adalah tahun yang penuh beban terutama di sektor pekerja.
Pandemi Covid-19, menurutnya adalah pukulan berat bagi pekerja. Banyak kasus PHK membuat perekonomian masyarakat terpuruk.
“Adanya pandemi dan disahkannya UU Omnibus Law menjadi sempurna sudah penderitaan para pekerja di Indonesia tak terkecuali kalangan pekerja di bandara Indonesia,” ujarnya.
Namun, Jacky masih yakin dengan optimisme. Selain penderitaan, tahun 2020 juga memunculkan semangat perjuangan yang tak kalah harus diperhatikan. Perjuangan inilah yang terus dipompa kalangan pekerja khususnya di lingkungan FSPBI.
Menurutnya, selama tahun 2020, banyak aktivitas yang dilakukan FSPBI untuk melakukan penguatan simpul-simpul perjuangan pekerja di bandara. Banyak juga dilakukan pengorganisasian pekerja bandara untuk memberikan edukasi dan training tentang serikat.
Menyongsong tahun 2021, FSPBI tetap konsisten mengupayakan perjuangan rakyat pekerja di bandara Indonesia untuk terus memperjuangkan kesejahteraan dan hak kerja ataupun hak status bagi seluruh pekerja bandara di Indonesia. Karena hak pekerja di seluruh Indonesia tidak sama. Ketika mereka berstatus pegawai, maka punya hak penuh, sementara mereka yang berstatus kontrak punya hak sama.
Untuk itu, Jacky mengajak kepada seluruh pekerja bandara di Indonesia untuk kembali bangkit aktif mengikuti pelatihan dan memiliki solidaritas yang tinggi. Ini dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan terhadap pekerja dan juga terbentuknya people power.
“Saatnya buruh bergerak, menyatakan sikap, dan bersuara. FSPBI optimistis ada harapan dan warna baru untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan pekerja bandara di Indonesia,” ujarnya.