
Berbeda dari sesi persidangan sebelumnya, pada Senin (15/9/2025) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tampak cukup ramai. Khususnya, pada ruang persidangan Seno Adji 1 di lantai 3.
Berbagai elemen masyarakat turut hadir untuk mendukung Ajat Sudrajat, Dhiccy Sadewa dan Leo Yoga Pranata atas gugatan yang dilayangkan Fiber Cement Manufacturers Association (FICMA) dalam perkara dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) kepada mereka.
“Bisa nggak sih, Jat, tuntutan ganti rugi Rp7,9 triliun itu diganti aja sama push up? Anggota FSPBI ada ribuan, kita bisa lakuin push up berjamaah buat lu,” celetuk Angga, Sekretaris Jendral FSPBI kepada Ajat.
Ajat dan orang-orang sekitar yang mendengar guyonan itu pun membalasnya dengan tawa. Saya yang juga mendengar candaan itu ikut membayangkan, kalau saja bisa, lebih baik kita lakukan itu untuk Ajat.
Barangkali, dengan melihat energi dan biaya yang selama ini ia habiskan sejak pertama kali FICMA melayangkan gugatan pada 2024, dapat terbalaskan dengan sesi push up bersama untuk membayar ganti rugi.
Ajat, lebih memilih push up berjamaah daripada harus bolak-balik menghadapi jarak, panas dan kemacetan di Jakarta.
Beberapa kali bertemu dengannya, ia kerap menertawakan nasibnya yang kini digugat gerbong besar industri asbes di Indonesia itu. Khususnya, pada bagian nominal ganti rugi.
“Jangankan Rp7,9 triliun, disuruh ganti rugi Rp50 Juta aja gua kaga bisa,” celoteh ajat sembari tertawa.
Kali ini Ajat sepertinya terlihat cukup senang. Persidangannya tidak lagi sepi. Ada beberapa kawan, serta perwakilan organisasi yang membersamai ia dan para tergugat lainnya.
Pun, pada agenda sidang lanjutan ini, ada Haris Azhar yang juga turut hadir sebagai saksi ahli dari pihak LPKSM Yasa Nata Budi, salah-satu tergugat dari total tujuh lainnya.
Haris ialah seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) sekaligus pengajar tidak tetap di STIH Jentera. Ia tampil di banyak siaran televisi nasional sebagai sosok yang terkenal bermulut nyentrik.
Performa celoteh mulut Haris Azhar pada malam hari, di dalam ruang persidangan Seno Adji 1 itu patut diberi rating 5/5.
Gaya bertuturnya yang nyentrik, membuat tim kuasa hukum FICMA dari Victoria Law Firm kelabakan. Keempat orang dari tim kuasa hukum yang hadir, dibuat seperti bocah kecil yang termangu mendengar dongeng dari orang tua.
Haris juga tampak seperti dosen pembimbing killer, musuh semua mahasiswa semester akhir. Sialnya, peran mahasiswa semester akhir pada malam itu dimainkan tim kuasa hukum FICMA. Dan entah mengapa, celotehan si dosen killer kala itu disukai orang-orang. Gelak tawa yang mengisi ruang persidangan malam itu jadi buktinya.
Adegan tanya jawab antara tim kuasa hukum FICMA dengan Haris Azhar, tidak kalah lucu dari adegan Kivlan Zein vs Bonnie Triyana yang disiarkan Mata Najwa dengan topik “PKI dan Hantu Politik: Bernarkah PKI Bangkit?” pada enam tahun silam.
Atau, lebih jauh sepuluh tahun ke belakang, ada adegan lucu kaburnya JJ Rizal, seorang sejarawan, yang kewalahan saat berdebat dengan mantan preman yang kini jadi politikus, Anton Medan.
Saat itu Rizal mengkritik Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, karena kebijakannya yang berdampak pada penggusuran di Kampung Pulo, Jakarta Timur. Dan Anton Medan, hadir sebagai pembela fanatik Ahok di acara yang disiarkan TV One itu.
Saat Haris Azhar Bicarakan SLAPP
Untuk informasi, sebelumnya Ajat Sudrajat, Dhiccy Sadewa dan Leo Yoga Pranata telah memenangkan gugatan uji materiil di Mahkamah Agung (MA) pada 2024 silam. Mereka menggugat materi hukum yang tertuang dalam Permendag No. 25 Tahun 2021.
Inti gugatan yang berhasil dimenangkan itu, MA mengabulkan kalau material asbes putih atau krisotil harus ikut diberi label informasi berbahaya serta cara penggunaannya kepada masyarakat. Aturan itu spesifik dapat dibaca pada lampiran huruf B angka 5 tentang Barang Bangunan pada Permendag yang mereka digugat.
Sesi pemaparan kesaksian oleh Haris Azhar berlangsung cukup menarik. Khususnya pada bahasan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP).
Saat saya menemuinya seusai persidangan, Haris mengatakan serangan balik berupa gugatan perdata yang dilakukan FICMA ini ibarat obeng dan kunci pas.
“Jadi kaya mempermasalahkan obeng. Udah dibilang kalo ternyata ini bukan obeng. Ini kunci pas. Begitu kalah, orang itu malah mempermasalahkan si Ajatnya. Kok Ajat kumisnya begini?” ujar Haris, saat ditemui Diakronik.com pada Senin (15/9/2025) seusai persidangan.
Seharusnya, putusan MA itu bersifat final. Menurut Haris Azhar, kalau ada pihak yang keberatan atas putusan itu dapat melaporkannya ke badan pengawas. Bukan malah balik menggugatnya.
Seperti mencari-cari kesalahan, Haris melanjutkan, kalau memang seseorang atau kelompok mempermasalahkan hasil judicial review (JR) yang sudah diputus, hal itu bisa dikatakan sebagai SLAPP. Apalagi kalau gugatan balik itu berada di luar materi legislasi dalam JR yang dipermasalahkan.
“Atau mengajukan serangan legislasi di luar materi JR, untuk menghabiskan energi orang tersebut. Atau membuat kegiatan partisipasi publik orang tersebut tidak dapat berjalan maksimal,” ujarnya.
Antara Krisotil, Mie Ayam dan Bakso
Baru pertama kali saya menyaksikan tontonan serupa stand up comedy di ruang persidangan. Sebuah ruang sakral yang disediakan negara untuk membuktikan seorang warganya bersalah atau tidak. Ruang yang seharusnya tegang, serius, dan penuh rasa was-was.
Berbeda dengan dengan komika lain yang tampil berdiri saat open mic, Haris hanya duduk di kursinya sebagai saksi ahli. Ia berada di posisi tengah, diapit dua meja panjang dan kursi dari masing-masing tim kuasa hukum di sisi kiri dan kanan.
Ia tak perlu banyak teknik act out dalam setiap susunan beat hingga punchline-nya. Alat komedi yang ia gunakan hanya mulut, juga sedikit gerakan celingak-celinguk kepalanya.
Haris tak sepenuhnya berguyon. Ia banyak menggunakan waktunya untuk menjelaskan materi sebagai ahli HAM dengan cukup serius. Biasanya, sesi adegan komedi muncul ditandai dengan gerak celinguk kepala Haris ke arah kiri dari kursi penonton sidang.
Tepat sekali, di sisi kiri ruang persidangan itu terdapat empat orang tim kuasa hukum FICMA yang duduk mendengarkan kuliah 2 SKS dari Haris.
Awalnya, tanya jawab antara tim kuasa hukum FICMA dengan Haris berlangsung lumrah. Sampai, salah satu dari keempat orang itu mulai mengeluarkan jurus silogismenya.
Cerita dalam silogismenya mungkin jauh lebih sulit daripada soal psikotes milik perusahaan bagi para pelamar kerja yang lolos sesi wawancara. Ia menganalogikan kasus hukum yang sedang terjadi dengan subjek Mie Ayam dan Bakso.
Kasus dengan tuntutan ganti rugi Rp7,9 triliun, dapat dengan mudah mereka analogikan dengan seruputan lembaran mie dan kuah bakso. Barangkali, memang bukan tidak mungkin ganti rugi triliunan itu dibayar dengan sesi push up berjamaah.
Haris, sebagai ahli HAM tentu meresponsnya. Mengapa perlu ditanggapi? Selain tanggung jawab sebagai saksi ahli yang dihadirkan, hak untuk berimajinasi seharusnya juga terikat dalam kerangka teoritik HAM.
Jadi, sah-sah saja seorang advokat yang disewa asosiasi asbes ternama di Indonesia mengibaratkan kasus dengan tuntutan ganti rugi triliunan itu dalam teritori makanan sejuta umat: Mie Ayam dan Bakso.
Mula-mula, seorang wanita dari tim kuasa hukum FICMA mulai bertanya kepada Haris Azhar. “Tadi ahli mengatakan jika kita melakukan gugatan (JR) itu sah, tapi tadi ahli juga mengatakan motif dan cara pengajuannya. Bagaimana jika saat melakukan itu seseorang memiliki motif yang tidak baik?”
Kata Haris, untuk melihat motif jahat dalam suatu gugatan dapat dilihat dari argumentasinya dalam dokumen gugatan. Berikutnya, periksa, apakah judicial review (JR)-nya didasarkan pada kepentingan masyarakat luas.
Teruntuk motif, menurut Haris itu bukan jadi soal. Sebab, dalam setiap pengajuan gugatan, motif adalah hal pertama kali yang dicek oleh hakim. Kalau berikutnya motif beserta argumentasinya diterima, hal itu mengartikan bahwa permohonan gugatannya sah.
Seorang wanita itu terlihat cukup jengah dengan jawaban Haris yang terasa tak memenuhi ekspektasinya. Ia kembali bertanya. Kali ini formulanya ialah analogi antara Mie Ayam dan Bakso.
Ia bilang, “Bagaimana jika seseorang mengajukan permohonan JR dengan argumentasi yang mengatakan bahwa barang ini merupakan Bakso? Padahal barang itu nyatanya adalah Mie Ayam. Lalu akhirnya hakim membuat putusan bahwa barang itu Bakso”
Haris sempat terdiam. Ia terlihat kewalahan sebentar. Raut wajahnya menandakan otak kepalanya sedang berusaha menangkap pikiran logis dari dalam sanubarinya.
“Ya jelas itu tanggung jawab hakimnya,” kata Haris.
Seorang perempuan itu terlihat tetap tak terima. Sebab, ia merasa Haris tak menjawab celah dalam proses permohonan gugatan yang bisa saja seseorang dengan sengaja mengganti beberapa dalil hukum untuk membuat hakim percaya bahwa barang itu adalah Bakso.
Adegan sahut-sahutan dalam topik Mie Ayam dan Bakso itu selalu dibalas Haris dengan mudah. Pertama, itu tanggung jawab hakim. Kedua, laporkan ke badan pengawas kalau keberatan. Ketiga, ajukan Peninjauan Kembali (PK).
Sebagai gambaran, dalam kasus Ajat, ia meminta agar asbes putih atau krisotil harus diberi label berbahaya. Sedangkan, pihak FICMA mengatakan, kalau yang bahaya itu adalah amfibol (jenis asbes lain).
Dalil FICMA ini merujuk pada Konvensi Rotterdam yang hingga kini belum menandai krisotil sebagai barang berbahaya seperti jenis asbes amfibol. Mereka juga punya ilmuwan dengan riset yang mengatakan krisotil tidak berbahaya.
Begitupun Ajat dan para tergugat lainnya. Dari ratusan negara, hanya terhitung jari manusia saja yang menolak krisotil ditaruh pada lembar material berbahaya. Sialnya, konvensi ini harus memiliki keputusan yang bulat. Alias, “satu nggak mau, semua nggak boleh”.
Ajat dan para tergugat lainnya juga menjelaskan berbagai temuan riset yang mengatakan bahwa krisotil berbahaya.
Begitupun World Health Organization (WHO) pada laman resminya di tahun 2024 lalu yang mengatakan semua jenis asbes, termasuk krisotil merupakan bahan karsinogenik.
Gelak tawa penonton membersamai di sepanjang perseteruan Mie Ayam dan Bakso itu. Seorang kuasa hukum FICMA itu terus-terusan percaya bahwa majelis hakim seakan mahkluk tak berakal yang gampang dibodohi laki-laki bergaya slengean seperti Ajat.
Di satu sisi, Haris terus-terusan mengatakan bahwa majelis hakim punya akal hukum yang dapat menilai sebuah motif serta kekuatan dalil hukumnya sejak dokumen itu masih dalam bentuk berkas permohonan.
Salah seorang tim kuasa hukum FICMA heran dengan jawaban Haris. Haris pun selalu heran dengan pertanyaan si kuasa hukum dan terlihat dongkol saat menjawabnya.
Penonton, hanya dapat tertawa saat menyaksikannya. Mungkin mereka semua tak pernah membayangkan, kalau sidang dengan keseriusan ganti rugi Rp7,9 triliun ini akan menghadirkan sesosok advokat yang terkesan keras kepala sekaligus juga penikmat makanan sejuta umat: Mie Ayam dan Bakso.
Jadi, salah majelis hakim MA, Ajat serta para tergugat lain, atau Mie Ayam, dan Bakso?
Ditulis oleh : Qanish