Sejak dulu di Indonesia kesadaran untuk memahami tentang keterasingan manusia melalui penindasan memang terasa sangat sulit. Kalimat keterasingan bahkan sulit dicerna di kalangan buruh atau pekerja. Hal ini disebabkan tidak banyak masyarakat Indonesia memiliki ketekunan mendalami teori maupun tulisan-tulisan yang dikemas dalam aktivitas membaca. Membaca bagi masyarakat Indonesia masih menjadi kegiatan langka bahkan sekarang ini generasi mudanya lebih enjoy menari depan layar tiktok daripada menekuni teks-teks pelajaran.
Kondisi ini juga yang kemudian menyulitkan kita untuk mendiskusikan hal-hal penting yang terjadi di kalangan masyarakat, padahal kondisi ini harus dimulai dengan diskusi yang berpijak pada teori-teori yang harus dibaca secara tekun. Salah satu contoh adalah tidak banyak pekerja atau buruh yang mengerti apa itu keterasingan manusia di tempat kerja? Mengapa harus disebut keterasingan manusia? Frans Magnis Suseno mengatakan, keterasingan manusia adalah hasil penindasan yang dilakukan satu kelas terhadap kelas lainnya. Emansipasi dari keterasingan itu hanya dapat tercapai melalui perjuangan kelas. (Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, hlm 110).
Baca Juga: Perjuangan dan Realitas Kesadaran Kelas Buruh di Zaman Modern
Magnis ingin menjelaskan tentang keterasingan dalam pekerjaan itu terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan terbagi menjadi dua kelas sosial yang berlawanan yaitu kelas buruh dan kelas majikan atau pengusaha. Pengusaha tentu memiliki pabrik, mesin dan tanah (kalau mereka tuan tanah), sementara itu kelas buruh melakukan pekerjaan. Akan tetapi karena para buruh tidak memiliki tempat dan sarana kerja, maka mereka harus menjual tenaga kerja mereka kepada kelas majikan atau pengusaha itu. Oleh sebab itu Magnis menekankan hasil kerja dan kegiatan bekerja bukan lagi milik para buruh itu sendiri, melainkan milik para majikan. Itulah dasar keterasingan dalam pekerjaan (Ibidem: hlm 114).
Permenungan kita saat ini bukan sekadar mengulang atau membaca kembali Das Kapital melainkan menenggelamkan diri dalam setiap makna penting dari buku yang tebalnya lebih dari 800 halaman itu. Kalimat Engels di atas sepintas sederhana, namun mengingatkan kembali kepada kelas buruh untuk menyadari bahwa emansipasi kita adalah dengan melawan keterasingan itu sendiri. Melawan adanya penindasan yang dilakukan pengusaha melalui UU Cipta Kerja yang membuat hampir seluruh buruh bandara mengalami ketidakpastian dalam melakukan pekerjaan mereka.
Banyak buruh yang dalam kebingungannya mulai bertanya, apakah revolusi adalah jalan keluar yang benar sesuai dengan tawaran Mark dalam bukunya, ataukah buruh harus berdiam diri dan menyerah pasrah sembari mengalihkan perhatiannya kepada aktivitas lain? Di Indonesia pertanyaan ini selalu menjadi buah simalakama ketika budaya dan tradisi masyarakat tidak pernah terlepas dari aktivitas religius. Banyak yang berpendapat bahwa menyerah pasrah kepada sang Kuasa adalah jalan terbaik dan memposisikan mereka tetap aman di tempat kerja.
Sementara itu ketika sebagain dari buruh beranggapan keterasingan ini harus dilawan dalam pergerakan Serikat Buruh, maka kondisi keterasingan mereka semakin besar karena mereka kemudian harus di-PHK secara sepihak karena dianggap melawan. Sampai saat ini angka PHK karena berserikat dan melakukan perlawanan atas penindasan mencapai angka yang sangat tinggi.
Buruh di Perusahaan PT Graha Fortuna Purnama mengalami PHK sepihak dan mereka menuntut pembayaran pesangon yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Para buruh yang kebanyakan telah bekerja dalam jangka waktu yang lama ini mengaku pengusaha sangat tidak manusiawi mem-PHK mereka begitu saja setelah meraup keuntungan yang besar. Dampak dari PHK itu kawan-kawan buruh yang berada di bawah naungan FSBKU (Federasi Serikat Buruh Karya Utama) melakukan protes dan mendirikan tenda perjuangan untuk menuntut kepada pengusaha agar membayar upah lembur yang masih terutang dan membayar pesangon mereka dengan layak. (Trimurti.id, Sehari Bersama Buruh PT Graha Fortuna Purnama, 11 Agustus 2024).
Berbagai bentuk solidaritas dilakukan oleh kalangan buruh lainnya termasuk FSPBI yang juga beraliansi dengan P2RI (Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia). Solidaritas ini dilakukan dengan ikut hadir di tenda perjuangan, melakukan aksi protes dan orasi serta ikut dalam distribusi penjualan kaos dan merchandise. Dalam proses perjuangan buruh ketika melawan penindasan memang tidak selalu berjalan dengan mulus. Pun di antara sesama buruh sangat sulit untuk bersolidaritas ketika ada kawan-kawan yang di-PHK secara sepihak. Hal inilah yang kemudian menggelitik saya untuk mengajak kita bersama merenungi apa makna dari perjuangan kelas tersebut?
Buruh yang berjuang dalam kondisi yang sangat minim kadang sulit mendapatkan dukungan dan solidaritas, karena mereka dianggap sebelah mata oleh buruh-buruh yang lain. Mereka seolah dibiarkan berjuang sendiri dan menikmati penderitaan itu tanpa ada yang peduli. Dalam acara-acara Serikat Buruh banyak buruh yang mahir menerjemahkan Das Kapital secara gamblang dan berapi-api meneriakkan perjuangan kelas. Tepat ketika diminta untuk turun bersama ke tenda-tenda perjuangan kawan-kawan yang di-PHK, banyak yang sekadar mengirimkan pesan “sorry gue ada acara”.
Memang tidak mudah, ketika kita disajikan hidangan bacaan tentang perjuangan kelas di masa kini, karena kita harus mampu mengunyah hidangan bacaan itu sampai lumat dan menelannya dengan baik sehingga hidangan itu dapat berguna bagi pergerakan kita sebagai kelas buruh. Saya melihat justru perjuangan kelas saat ini semakin runyam ketika sesama buruh mulai membuat jarak dan menciptakan kondisi borjuasi kecil-kecilan.
Kondisi dimana beberapa buruh yang menganggap diri mereka lebih satu tingkat, lebih berarti dari buruh yang lainnya. Saya teringat pada sebuah catatan Marx yang sangat detil ketika menjelaskan nilai relatif, Marx membuat perumpamaan tentang seseorang yang merasa lebih berarti ketika ia mengenakan jas yang berlapis emas dibandingkan dengan ketika dia mengenakan jas tanpa ada lapisan emas tersebut. (Karl Marx, Kapital, hlm.20). Memang penjelasan tentang nilai berbeda dengan yang sedang kita bahas sekarang, akan tetapi yang ingin saya sampaikan di sini adalah setiap manusia memiliki kemampuan untuk menilai sesuatu secara relatif.
Baca Juga: 5 TAHUN FSPBI MENGORGANISIR, BERJUANG DAN MELAWAN.
Ketika saya bekerja sebagai porter barang dan mengurus barang-barang penumpang yang akan terbang, maka saya akan bekerja di bawah terik matahari yang panasnya luar biasa, belum lagi debu tebal dimana-mana. Ini berbeda ketika saya bekerja di di dalam pesawat sebagai pramugari yang menikmati fasilitas tinggal di hotel sambil jalan-jalan ke luar kota dan luar negeri. Kondisi kerja yang berbeda inilah yang kemudian membuat banyak buruh salah paham pada arti kelas pekerja atau kelas buruh. Sehingga kemudian muncul selorohan “gue bukan buruh, gue pekerja, gue karyawan”
Perjuangan kelas melawan keterasingan hendaknya dimaknai dengan kesadaran kelas sebagai buruh yang memiliki rasa solidaritas tinggi. Bukan karena mereka yang bekerja di tempat yang panas dan berdebu, ketika mereka mengalami PHK lalu kita biarkan saja dan lebih memilih bersolidaritas kepada buruh-buruh yang juga di PHK dari tempat kerja yang lebih keren.
Hendaknya hal itu tidak terjadi di antara buruh yang selalu berjuang memerangi keterasingannya di tempat kerja. Siapapun kita dengan posisi dan jenis pekerjaan yang kita lakukan, kita adalah kelas buruh yang harus berjuang setiap saat di tempat kerja. Seenak apapun tempat kerja yang kita miliki, kita masih diperlakukan tidak adil dengan peraturan yang dibuat pengusaha demi mengeruk keuntungan. Maka di tengah gelombang PHK yang sangat besar ini hendaknya kita menguatkan kesadaran kita untuk terus bersatu dan bersolidaritas di antara kita.
Oleh : Jacqueline Tuwanakotta