Krisis Regenerasi dan Paradoks Gerakan Buruh, Saat Serikat Pekerja Kehilangan Arah Kolektifnya

Foto: Dokumentasi Mayday tahun 2025 di DPR RI

Serikat pekerja lahir dari rahim perjuangan panjang, dari sejarah ketidakadilan dan keinginan luhur untuk menciptakan ruang kerja yang layak, adil, dan manusiawi.

Serikat Pekerja bukan sekadar organisasi, melainkan representasi dari harapan-harapan pekerja untuk memperoleh keadilan di tempat kerja. Salah satu alat untuk menegakkan martabat pekerja di tengah sistem yang seringkali merugikan kelas pekerja.

Serikat pekerja berdiri di antara dua kepentingan besar yaitu suara pekerja yang kerap tak terdengar dan kekuasaan ekonomi yang kian menguat. Ia menjadi jembatan, menjadi wadah kolektif yang seharusnya hidup, tumbuh, dan terus bergerak bersama denyut perubahan zaman.

Namun di tengah perjalanannya, muncul pertanyaan mendasar yang seringkali luput dari refleksi internal. Siapa yang sebenarnya memiliki organisasi ini? Apakah serikat pekerja hanya milik sekelompok pengurus yang bertahan dari satu periode ke periode berikutnya? Atau apakah benar-benar milik anggota. Tentu saja jika milik anggota, regenerasi menjadi hal yang sangat penting dalam tubuh serikat pekerja.

Serikat pekerja seharusnya tidak menjadi milik segelintir orang yang berputar dalam lingkar kekuasaan internalnya sendiri. Ia harus menjadi ruang kolektif yang membuka kesempatan bagi setiap anggota untuk tumbuh, belajar, dan mengambil peran. Pendidikan dan pengorganisasian bukanlah pelengkap, melainkan fondasi dari keberlanjutan sebuah serikat pekerja yang sehat.

Sayangnya, banyak serikat pekerja hari ini yang justru terjebak dalam kebuntuan regenerasi. Keterlibatan pekerja muda dalam serikat semakin menurun, bahkan sering kali menjauh dari organisasi.

Mereka melihat serikat bukan sebagai rumah perjuangan, melainkan sebagai ruang yang kaku, tertutup, dan penuh intrik. Ironisnya, sebagian besar dari problem ini bukan datang dari luar, melainkan dari internal serikat pekerja itu sendiri.

Mulai dari cara berorganisasi yang usang, komunikasi yang satu arah, dan pandangan yang tidak berkembang terhadap realitas zaman menjadi faktor yang harus diperhatikan. Selain itu perlu dicari solusi menanggapi permasalahan ini.

Lahirnya generasi muda dengan cara berpikir yang berbeda seharusnya menjadi kekuatan baru, bukan ancaman. Namun dalam kenyataannya, perbedaan pandangan seringkali justru melahirkan perpecahan. Alih-alih memperkuat, banyak serikat pekerja justru terfragmentasi menjadi beberapa organisasi kecil akibat konflik internal yang tidak diselesaikan dengan dialog dan keterbukaan.

Setiap perbedaan tafsir dianggap ancaman, setiap gagasan baru dianggap pembangkangan. Maka tidak heran, dari satu serikat muncul serikat baru. Dari satu perbedaan lahirlah perpecahan, dan ini terus berulang. Jika demikian, bukankah ini menunjukkan bahwa solidaritas yang selalu digaungkan selama ini hanya sebuah jargon?

Lebih parah lagi, jabatan dalam serikat pekerja sering kali berubah menjadi posisi strategis yang diperebutkan, bukan karena semangat pengabdian, melainkan karena nilai politik dan pengaruhnya. Serikat pekerja yang sejatinya menjadi alat kolektif untuk memperjuangkan kepentingan bersama, berubah menjadi kendaraan pribadi untuk kepentingan individu.

Fenomena ini melahirkan sinisme di kalangan anggota “Untuk apa saya bergabung, jika akhirnya semua hanya berputar di orang-orang yang sama?” Sebuah pertanyaan getir yang harus dijawab dengan kejujuran dan refleksi mendalam.

Di sisi lain, masih banyak pula kalangan pengurus yang terjebak dalam cara berpikir lama. Biasa saya sebut sebagai “pandangan kiri yang membeku.” Mereka melihat perjuangan kelas buruh hanya dari kacamata penderitaan. Bagi mereka, buruh harus selalu tampak miskin, sederhana, dan tertindas. Seolah-olah penampilan menjadi ukuran kejujuran dalam perjuangan. Ketika seorang buruh makan di tempat mahal, ia dicibir.

Ketika mengenakan jas, ia dicap kapitalis. Padahal, bukankah tujuan akhir perjuangan buruh adalah kesejahteraan? Jika kemiskinan terus dianggap simbol kesetiaan pada perjuangan, maka sejatinya kita telah gagal memahami esensi keadilan sosial.

Padahal yang terpenting adalah pendidikan kesadaran dan loyalitas yang ditanamkan kepada seluruh anggota Serikat. Dengan demikian diharapkan dalam masa perjalanannya anggota/pengurus serikat tidak ada usaha untuk memanfaatkan organisasi sebagai batu loncatan untuk masuk ke jajaran jabatan strategis di perusahaan yang dapat menghianati nilai organisasi.

Masalah terbesar dari semua ini adalah kegagalan dalam membangun komunikasi dan rasa saling percaya. Kita terlalu sibuk memikirkan bagaimana negara berpihak pada buruh, bagaimana kapitalisme harus dihancurkan, namun lupa pada hal paling sederhana kapan terakhir kali kita duduk bersama anggota untuk berbicara dari hati ke hati.

Kapan terakhir kali pengurus benar-benar mendengarkan cerita dan keresahan anggota tanpa menghakimi? Ketika komunikasi berhenti, maka jurang perpecahan terbuka lebar. Dari situlah awal kehancuran organisasi dimulai.

Serikat pekerja hari ini membutuhkan keberanian baru. Keberanian untuk berubah, untuk belajar dari generasi muda, dan membongkar cara berpikir lama yang mengekang gerakan. Regenerasi bukan hanya tentang mengganti orang, melainkan menumbuhkan kesadaran baru yang segar dan relevan dengan zaman.

Jika serikat pekerja ingin tetap menjadi rumah perjuangan, maka ia harus mau membuka pintu selebar-lebarnya bagi perbedaan pandangan, gagasan baru, dan dinamika sosial yang terus bergerak. Sebab, hanya dengan cara itu serikat pekerja dapat kembali menjadi kekuatan moral dan sosial yang bermartabat. Bukan sekadar organisasi yang hidup di atas nama besar masa lalu.

Penulis: Frendo

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *