Dilema pekerja AVSEC: Tuntutan menjaga keamanan penerbangan tanpa kepastian kerja yang jelas.

illustration: canva.com

Di setiap bandara Indonesia, dari Kualanamu hingga Cengkareng, dari Surabaya hingga Semarang, kita mengenal sosok petugas berseragam biru tua yang selalu berdiri tegap di titik-titik pemeriksaan keamanan. Mereka memeriksa barang bawaan, mengawasi pergerakan penumpang, menegur dengan sopan namun tegas setiap pelanggaran prosedur. Merekalah Aviation Security (Avsec). Garda terdepan dalam menjaga keamanan dan keselamatan penerbangan di negeri ini.

Namun, di balik wibawa dan ketegasan seragam itu, tersimpan berbagai cerita pilu yang jarang diketahui publik. Kisah tentang pekerja-pekerja yang gagah di luar, namun rapuh di dalam, kisah tentang dedikasi yang tak sebanding dengan penghargaan; kisah tentang sistem kerja yang tak berpihak pada manusia di balik tugas mulia itu.

ANTARA TANGGUNG JAWAB DAN KETIDAKPASTIAN

Bagi seorang Avsec, setiap hari adalah taruhannya. Mereka harus memeriksa setiap barang dengan ketelitian tingkat tinggi, membaca bahasa tubuh penumpang, menghadapi tekanan dari penumpang yang sangat beragam, hingga berjaga di jam-jam sibuk tanpa jeda yang cukup. Satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal bagi keselamatan penerbangan. Tapi, siapa yang menjaga mereka?

Mayoritas petugas Avsec di bandara-bandara yang dikelola Angkasa Pura Indonesia bukan lagi pegawai tetap perusahaan induk. Mereka kini dipekerjakan oleh anak perusahaan di bawah In Journey Aviation Service, melalui sistem kerja  outsourcing. Secara hubungan kerja, mereka bukan lagi bagian dari perusahaan yang bandara-bandaranya mereka jaga setiap hari. 

Kontrak kerja yang mereka miliki bervariatif, bahkan ada yang hanya berlaku tiga bulan. Dalam waktu sesingkat itu, mereka harus terus membuktikan bahwa mereka layak diperpanjang, tanpa kepastian akan masa depan. Di penghujung setiap kontrak, muncul kecemasan baru: “Apakah saya masih akan bekerja bulan depan?” Dalam industri penerbangan yang mereka jaga agar tetap aman, kehidupan mereka sendiri justru penuh ketidakpastian.

UPAH TAK SEIMBANG, JAM KERJA BERLEBIH

Lebih ironis lagi, banyak di antara mereka tidak menerima upah sesuai ketentuan. Padahal, pekerjaan mereka bukan pekerjaan biasa. Mereka memegang tanggung jawab besar terhadap keselamatan ribuan penumpang setiap hari. Dengan beban kerja tinggi dan tekanan mental yang besar, upah yang mereka terima seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup.

Lebih dari itu, jam kerja mereka melampaui batas hukum yang diatur negara. Dalam seminggu, banyak petugas Avsec bekerja hingga 60 jam, padahal Undang-Undang Ketenagakerjaan secara tegas membatasi maksimal 40 jam per minggu. Artinya, mereka telah memberikan seperempat waktu hidupnya lebih banyak untuk bekerja tanpa jaminan kompensasi lembur yang layak. Mereka bekerja di bawah sorotan kamera dan tekanan publik. Namun hidup dalam bayang-bayang pengabaian sistem yang seharusnya melindungi mereka.

LISENSI YANG MAHAL, DIBAYAR DENGAN HUTANG

Untuk bisa tetap bekerja sebagai petugas keamanan penerbangan, setiap Avsec diwajibkan memiliki lisensi resmi dari Kementerian Perhubungan. Lisensi ini tidak berlaku selamanya harus diperpanjang secara berkala. Biaya perpanjangan lisensi berkisar antara Rp 3.000.000 hingga Rp 8.000.000, tergantung pada level dan jenjang lisensi. Namun, yang lebih menyakitkan biaya ini ditanggung oleh pekerja Avsec itu sendiri.

Banyak pekerja Avsec yang terpaksa meminjam uang dari aplikasi pinjaman online (pinjol), dengan bunga tinggi, demi membayar perpanjangan lisensi. Mereka berhutang hanya untuk bisa tetap bekerja. Inilah paradoks terbesar pekerja yang menjaga keamanan publik, namun justru harus menggadaikan keamanan finansialnya sendiri.

Di tengah citra profesional yang ditampilkan kepada publik, banyak di antara mereka hidup dalam tekanan ekonomi yang luar biasa. Ada yang terpaksa menunda biaya sekolah anak, menunggak sewa rumah, atau meminjam ke sesama rekan kerja. Semua dilakukan demi satu hal: agar lisensi tidak kadaluarsa, agar mereka bisa tetap bekerja menjaga bandara.

DUA DUNIA AVSEC, ANTARA YANG TETAP DAN YANG DISISIHKAN

Publik sering berasumsi bahwa seluruh petugas Avsec memiliki kehidupan yang baik, karena melihat profesionalisme mereka di lapangan. Padahal, Avsec yang bekerja langsung di bawah Angkasa Pura Indonesia memang menerima gaji tinggi dan fasilitas memadai. Namun, mayoritas Avsec di bandara kini bukan lagi karyawan tetap, melainkan pekerja outsourcing dengan pendapatan yang jauh berbeda.

Perbedaan ini menciptakan jurang yang nyata di antara mereka yang menjalankan fungsi sama. Dalam satu tempat kerja, terdapat dua dunia yang penuh ketimpangan: satu dunia dengan kepastian dan kesejahteraan, dunia lainnya dengan ketidakpastian dan pengorbanan. Ketimpangan ini menjadi luka sosial yang semakin dalam luka yang tak tampak oleh publik, namun terasa oleh setiap pekerja di balik gerbang keamanan bandara.

MENJAGA LANGIT, TAPI SIAPA YANG MENJAGA MEREKA?

Dalam setiap keberangkatan pesawat, dalam setiap senyum ramah di gate keamanan, para Avsec memainkan peran vital dalam memastikan bahwa setiap perjalanan udara berlangsung aman. Mereka adalah barisan pertama dan terakhir yang memastikan tidak ada ancaman bagi penerbangan. Mereka menanggung risiko tinggi menghadapi kemungkinan ancaman keamanan, menghadapi emosi penumpang yang beragam, hingga stres psikis akibat tekanan kerja. Namun, dibalik semua itu, tidak ada sistem yang sungguh-sungguh menjaga mereka. Bahkan dari negara sekalipun. Tidak ada jaminan kerja yang berkelanjutan, tidak ada kompensasi yang memadai, dan tidak ada keberpihakan yang nyata. Mereka berdiri di garda depan, tetapi dibiarkan berdiri sendirian.

Seragam yang mereka kenakan bukan sekadar pakaian kerja; itu adalah simbol profesionalisme, tanggung jawab, dan kebanggaan. Tapi hari ini, seragam itu juga menjadi penanda ironi — bahwa di balik sikap gagah dan tegas, tersimpan luka sosial yang dalam. Luka dari sistem kerja yang menindas, dari ketidakpastian yang berkepanjangan, dan dari rasa lelah yang tak pernah selesai.

SERUAN UNTUK PERUBAHAN

Kisah para Avsec ini bukan sekadar potret satu profesi, melainkan cermin dari kondisi ketenagakerjaan Indonesia hari ini: bagaimana pekerjaan penting dan berisiko tinggi justru ditempatkan pada posisi yang paling rentan. Sudah saatnya negara hadir bukan hanya sebagai pengatur, tetapi sebagai pelindung. Sudah saatnya perusahaan-perusahaan di sektor penerbangan berhenti menutup mata terhadap nasib para pekerja ini.

Masyarakat juga perlu tahu bahwa di balik keamanan bandara yang mereka rasakan, ada para pekerja yang terus menggadaikan hidupnya di industri ini. Mereka tidak menuntut kemewahan, hanya keadilan dan kepastian. Karena seharusnya, mereka yang menjaga keselamatan penerbangan ini tidak dibiarkan hidup dalam ketidakpastian.

Penulis : Del Piero

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *